Saturday, October 1, 2011

Mendobrak Mahar Di Aceh

Teuku Zulkhairi
Budaya materialistis yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat Aceh telah membentuk sebuah kultur adat yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam. Anehnya kultur tersebut sengaja terus dilestarikan tanpa ada upaya untuk mengkaji ulang. Sebagai contoh, mas kawin (mahar) di Aceh sekian lama telah menjelma menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar pemuda Aceh yang sudah sampai pada fase nikah.

Tingginya jumlah mas kawin telah menyebabkan seringnya niat menikah dari pemuda kita menjadi tertunda-tunda atau bahkan mungkin gagal sama sekali, dan pada akhirnya berujung kepada seringnya terjadi berbagai kerusakan dan kemaksiatan.

Fakta bahwa sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mas kawin yang terbilang fantastis dan cukup tinggi adalah hal yang tak terbantahkan, padahal mayoritas masyarakat kita didominasi oleh masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah/miskin. Anehnya pola pikir seperti ini oleh sebagian besar pihak mempelai wanita dianggap sebagai sebuah kemestian karena keberhasilannya nanti akan menjadi prestise dan prestasi keluarga. Pada akhirnya fakta tersebut telah membentuk sebuah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita yang cenderung apatis memikirkan urusan pernikahan, paradigma berpikir seperti ini menyebabkan penundaan atau terhambatnya pelaksanaan hal tersebut. Padahal dalam Islam pernikahan adalah hal yang sangat urgen dan mesti disegerakan, karena ia menjadi salah satu kunci ketenangan hati dan kedamaian pikiran. Disamping itu, pernikahan juga merupakan kunci untuk menutupi pintu-pintu kemaksiatan

Meskipun pada faktanya budaya materialistis dan pragmatis sudah sangat rawan menjangkiti masyarakat Aceh, namun demikian disini penulis tidak bermaksud menjustifikasi pihak mempelai wanita dalam kasus ini, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat, bukan anjuran syariat. Bahkan saya melihat bahwa adat tingginya jumlah mas kawin di Aceh cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Namun demikian panulis tidak bermaksud agar jumlah mas kawin tersebut diberikan patokan dengan standar yang minimum, jika pihak mempelai laki-laki sanggup memberikan mas kawin dalam jumlah yang maksimum ya silahkan, bukankah itu juga sebuah kebaikan? Namun, pemberian mas kawin dengan jumlah yang maksimum jangan menjadi sebuah adat, karena realitas kita lihat masyarakat Aceh dominannya adalah masyarakat miskin.

Satu sisi, adat tingginya jumlah mas kawin memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi suatu komoditi pasar yang kompetitif dimana hal tersebut akan memotivasi para pemuda Aceh untuk bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Mereka akan mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga. Namun disisi yang lain jelas bahwa mafasid atau kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari kemaslahatan tadi. Islam mengajarkan kita agar tidak membiarkan pintu kemaksiatan terbuka, bahkan Islam memerintahkan kita untuk menutupi potensi semua pintu kemaksiatan yang bisa ditimbulkan.

Ketika adat tadi menjadi faktor penghalang niat seseorang untuk menikah, itu artinya adat tersebut telah membiarkan pintu kemaksiatan terbuka. Hal ini bisa berakibat fatal dengan rusaknya tatanan masyarakat bersyari’at yang sedang dibangun, misalnya, bertambahnya wanita-wanita yang memasuki usia tua tanpa sempat menikah yang berujung pada seringnya terjadi berbagai fitnah, rawannya pacaran dan perzinaan (free sex), kasus-kasus khalwat yang sering kita dengar, ini adalah fenomena yang bisa kita lihat lansung saat ini.

Maka dari itu, diperlukan keberanian dari kedua mempelai dan keluarganya untuk mendobrak adat mas kawin tersebut tanpa ada perasaan takut dengan hukuman adat yang akan menerpanya. Misalnya; malu sama tetangga atau teman-teman, atau contoh hukuman adat yang lain seperti minimnya perolehan dukungan dari keluarga dan kerabat disebabkan patokan jumlah mas kawin yang bisa atau mudah dijangkau oleh pihak mempelai laki-laki –meskipun dia berasal dari masyarakat kalangan ekonomi kelas bawah sekalipun.

Saya kira, patokan tingginya jumlah mas kawin di Aceh juga bukan bukti pemuliaan terhadap wanita, karena dalam Islam disebutkan, bahwa wanita yang baik dan mulia adalah yang meminta mas kawin sedikit meskipun dikasih banyak, dan sebaliknya laki-laki yang baik adalah yang memberi banyak meskipun diminta sedikit. Terhadap argument yang sering penulis dengar, bahwa tngginya nilai mas kawin akan bisa meminimalisr terjadinya kasus-kasu perceraian, saya kira argument ini kurang tepat.

Menurut hemat penulis, penyebab terjadinya perceraian lebih tergantung kepada sosok individu-individu yang bersangkutan, misalnya disebabkan karena kurang intensnya komunikasi individu-individu tersebut dengan Tuhan Sang Pencipta, atau kurang bagusnya manajemen pengelolaan konflik dalam keluarga, atau contoh yang lain misalnya seperti rendahnya etika dan moral yang dimiliki oleh salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam perceraian, saya pikir tidak ada sangkut pautnya antara kasus perceraian dengan nilai mas kawin.

Dari pemaparan ini penulis berharap MAA (Mejlis Adat Aceh) yang selama ini aktif melestarikan adat Aceh agar bisa memberikan peran sertanya yang signifikan dalam rangka menyelesaikan persoalan anak bangsa tersebut, sekaligus menjadi saham dan peran serta kita dihadapan Allah kelak dalam upaya penegakan syari’at secara totalitas di Nanggroe Aceh Darussalam ini. Atau mungkin dengan realitas berbagai sisi negative/mafasid dari adat tingginya jumlah mas kawin tersebut haruskah ia tetap terus dilesatarikan? Adakah adat itu sebuah aksioma yang seorang pun tidak boleh menggugat? Ataukah mungkin adat tersebut adalah laksana patung pahatan leluhur kita yang tidak bisa disentuh untuk direkon kembali? Wallahu a’lam

Islam dan Mas kawin

Dalam Islam, mas kawin merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dalil wajibnya mas kawin ditunjukkan antara lain dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 4, “Berikanlah mas kawin kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”. Dan Rasulullah sebagai unsur yang menjalankan fungsinya sebagai mutabayyin (orang yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an) menjelaskan etika pemberian mas kawin ini dalam satu hadist riwayat Abu Dawud, bahwa “Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling ringan.” Dalam hadist yang lain Rasulullah juga menjelaskan bahwa, “pernikahan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah mas kawinnya” (HR. Ahmad).

Sahabat Rasulullah Umar bin Khatab juga pernah menasihati para sahabat yang lain, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mas kawin para wanita, karena kalau mas kawin itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah SWT, tentunya Rasulullah SAW lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud).

Maka, menjadi tugas bagi kita semua, khususnya MAA untuk menghadirkan solusi serta merubah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita tersebut agar tidak lagi memandang mas kawin sebagai momok yang menghambat dan menghalangi niat mereka untuk nikah, disamping itu tentunya kita juga berharap kesadaran dari pihak mempelai wanita untuk bisa melihat persolan yang sangat substantif ini secara lebih dalam, sesusi dengan perspektif Islam. Karena dalam Islam, bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an-pun dapat dijadikan mas kawin, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad.

Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mas kawin, sebagaimana mas kawin Ummu Sulaim ketika menikah dengan Abu Thalhah. Ini semua adalah kemudahan-kemudahan yang ada dalam Islam, dan hal ini sangatlah wajar mengingat Islam adalah Agama yang memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap pemeluknya. “Permudahkan, jangn persulit!!” pesan Rasul. Wallahu a’lam bis-shawa.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithah Thaliban Aceh (RTA).


 
Design by Fadel Aziz Pase | Bloggerized by Fadel Partner - Do'a Sepasang Bidadari | Salam Kanan Salam Kemenangan