JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid, mengaku sulit memahami sikap Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, terkait dengan polemik menyangkut keikutsertaan calon perseorangan dalam pilkada di Aceh.
Dulu, menurut Farhan, DPR Aceh menolak Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dianggap sebagai buatan Jakarta. Sekarang, kondisinya malah terbalik, DPR Aceh mati-matian mempertahankan UUPA agar tak diubah titik komanya sekalipun.
Polemik terkait calon perseorangan dalam pilkada Aceh mencuat, setelah Partai Aceh, selaku kekuatan mayoritas di DPR Aceh, menolak ketentuan ini.
Calon perseorangan dalam pilkada Aceh diakomodir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 256 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dianulir.
Pasal 256 sebelumnya mengatur bahwa calon perseorangan hanya diperbolehkan sekali, setelah UUPA diundangkan. Pilkada Aceh yang dijadwalkan pada Desember mendatang merupakan pilkada kedua setelah UUPA diundangkan.
MK dalam putusannnya kemudian tetap mengakomodir calon perseorangan dalam pilkada Aceh.
Menurut Farhan, pemerintah juga tak bisa mengabaikan begitu saja ancaman Partai Aceh, partai politik lokal yang dibentuk mantan GAM dan sekarang menjadi mayoritas di DPR Aceh. Ancaman Partai Aceh untuk memboikot pilkada Aceh, menurut Farhan juga mencemaskan.
"Saya mulai cemas. Membayangkan bagaimana pemerintahan di Aceh ke depan, ketika DPR Aceh tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pilkada Aceh. Berarti DPR Aceh tak akan terlibat dalam pra pengambilan suara, paripurna penyampaian visi dan misi hingga tahapan pilkada lainnya," kata Farhan.
Ia menambahkan, "Apa yang terjadi setelah pelantikan gubernur dan wakil gubernur, kalau sejak awal DPR Aceh tidak ikut terlibat pilkada. Padahal kita juga harus mengakui pentingnya DPR Aceh untuk membangun kebersamaan, mengisi perdamaian di Aceh dengan pembangunan damai saja tidak cukup, mesti ada keadilan di sana," kata Farhan.
Penyelenggaraan pemerintahan
Sementara menurut Mantan Ketua MK, Jimmly Ashiddiqie, masyarakat Aceh jangan menilai putusan MK soal diakomodirnya calon perseorangan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh, sebagai bagian dari kepentingan pemerintah pusat atau Jakarta.
Putusan MK harus dinilai sebagai bagian dari teknik penyelenggaraan pemerintahan dalam negara yang demokratis.
Jimmly mengatakan, keputusan MK terkait diakomodirnya calon perseorangan pada pilkada Aceh, harus dilihat sebagai bagian dari semangat demokrasi.
"Pertama, ini bukan masalah Aceh dan pusat. Kedua ini bukan persoalan damai dan tidak damai. Ini masalah teknik penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Mestinya kita ikuti aturan dan semangat demokrasi. Kalau mau bersaing ya bersaing saja secara terbuka," kata Jimmly di Jakarta, Minggu (16/10/2011).
Menurut Jimmly, semestinya pihak-pihak di Aceh tak perlu khawatir dengan diakomodasinya calon perseorangan dalam pilkada. "Kita ini kan sering dihantui oleh perasaan sendiri. Sekarang saja dari sekitar 400-an pilkada di Indonesia, calon perseorangan yang menang hanya di empat daerah. Di Pulau Sumatera hanya di Kabupaten Batubara (Sumut)," katanya.
Jimmly mengatakan, terlepas dari perdebatan soal prosedur pengambilan keputusan di MK, tetapi putusan ini harus dihormati sebagai bagian dari dilaksanakannya hukum sebagai panglima.
, KOMPAS.com