Ganjar Pranowo | Google |
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo menilai penolakan calon independen oleh Partai Aceh (PA) pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Aceh, yang bakal digelar 14 November 2011 merupakan bentuk ketakutan. Pasalnya, kepercayaan partai yang sebelumnya mengusung Gubernur Aceh, Irwandi Yussuf ini terus merosot.
“Ya itu kan semua hanya cari-cari pembenaran saja. Ada kekhawatiran partainya akan merosot, lalu dicarilah alasan yang bisa menjegal calon perseorangan. Makanya menurut saya ini merupakan kalkulasi politik saja,” kata politisi dari PDIP ini di Jakarta, Selasa (20/9).
Ganjar lantas menyesalkan penolakan yang dimotori Partai Aceh karena bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, elite politik PA harusnya tunduk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah memutuskan calon perseorangan bisa bertarung pada Pemilukada Aceh.
“Elite politik Partai Aceh mestinya menyadari pemilik kedaulatan hukum adalah segenap rakyat Indonesia. Putusan MK merupakan representasi supremasi hukum yang dijunjung tinggi rakyat Indonesia,” katanya.
MK pada 30 Desember 2010, telah membatalkan pasal 256 UU nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh yang mengatur calon perseorangan hanya diperbolehkan sekali dalam Pemilukada Aceh 2006. Dengan demikian, Pemilukada kini harus merujuk ke UU nomor 12/2008, yang kembali membolehkan calon perseorangan.
Namun keputusan MK ini dimentahkan DPRD Provinsi Aceh. Dalam sidang paripurna DPR Aceh, akhir Juni 2011, Rancangan Qanun Pilkada 2011 disahkan tanpa memasukkan klausul calon independen. Pengesahan ini melalui voting diikuti seluruh anggota dewan, yakni sebanyak 67 orang. 40 orang (59,7 persen) di antaranya yang sebagian besar dari Fraksi Partai Aceh menolak calon independen, sedangkan sisanya 27 orang (40,3 persen) abstain.
Munculnya ketakutan elite PA memang bisa dipahami lantaran dalam lima tahun belakangan, citra partai ini tercoreng di mata masyarakat. Apalagi, kata Ganjar, Aceh merupakan daerah pertama di Indonesia yang membolehkan majunya calon perseorangan dalam pemilukada.
“Kalau tidak ada keresahan, kenapa mesti takut? Padahal kan calon independen itu sendiri justru berasal dari Aceh. Lalu diikuti seluruh daerah di Indonesia. Lalu kenapa sekarang jadi seolah takut?” tukas Ganjar.
Sementara Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti mengatakan, pemerintah pusat harus tegas dalam mengambil sikap dalam menjaga proses demokratisasi di Aceh dengan menjalankan tahapan pemilukada. Artinya, sikap politik Partai Aceh dan GAM yang menuntut mundur agenda Pemilukada Aceh adalah tindakan irasional, bertentangan dengan konstitusi dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
‘’Pemerintah harus bersikap tegas berjalannya demokrasi di Aceh, dengan menjaga pilgub Aceh berjalan sesuai tahapan, pengambilan suara 14 November 2011. GAM/PA kedudukannya dimata hukum sejajar dengan Organisasi Politik lainnya, dan damai Aceh sudah pada titik kulminasi dan harus kembali pada kehidupan normal seperti provinsi lainnya,” kata Ray.
Selain itu kata Ray pula, pemerintah harus tegas munculnya wacana dari desakan tokoh GAM/Partai Aceh agar Presiden SBY membuat Perpu tentang pemilihan Gubernur Aceh secara langsung oleh DPRA. Padahal, secara terang benderang kebijakan tersebut hanya akan mematikan demokratisasi di Aceh.
‘’Bukankan suatu kemunduran kalau gubernur Aceh dipilih langsung oleh DPRA? Jangan sampai persoalan internal Partai Aceh yang dipicu oleh kedangkalan wawasan dan prilaku arogansi elite Partai Aceh dalam kehidupan politik maupun sosial mematikan tatanan demokrasi yang tumbuh di Aceh,’’ paparnya.
Ray melihat, ada upaya dari segelintir elite parpol Aceh yang ingin menciptakan grand strategy dalam membentuk opini bahwa Aceh memiliki “kedaulatan hukum” yang tidak dapat diintervensi oleh konstitusi Indonesia sekalipun. ‘’Jika seperti ini tidak berbeda dengan bentuk separatis gaya baru yang mengedepankan siasat pendekatan hukum,’’ cetusnya.
Sumber : JPNN.COM
“Ya itu kan semua hanya cari-cari pembenaran saja. Ada kekhawatiran partainya akan merosot, lalu dicarilah alasan yang bisa menjegal calon perseorangan. Makanya menurut saya ini merupakan kalkulasi politik saja,” kata politisi dari PDIP ini di Jakarta, Selasa (20/9).
Ganjar lantas menyesalkan penolakan yang dimotori Partai Aceh karena bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, elite politik PA harusnya tunduk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah memutuskan calon perseorangan bisa bertarung pada Pemilukada Aceh.
“Elite politik Partai Aceh mestinya menyadari pemilik kedaulatan hukum adalah segenap rakyat Indonesia. Putusan MK merupakan representasi supremasi hukum yang dijunjung tinggi rakyat Indonesia,” katanya.
MK pada 30 Desember 2010, telah membatalkan pasal 256 UU nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh yang mengatur calon perseorangan hanya diperbolehkan sekali dalam Pemilukada Aceh 2006. Dengan demikian, Pemilukada kini harus merujuk ke UU nomor 12/2008, yang kembali membolehkan calon perseorangan.
Namun keputusan MK ini dimentahkan DPRD Provinsi Aceh. Dalam sidang paripurna DPR Aceh, akhir Juni 2011, Rancangan Qanun Pilkada 2011 disahkan tanpa memasukkan klausul calon independen. Pengesahan ini melalui voting diikuti seluruh anggota dewan, yakni sebanyak 67 orang. 40 orang (59,7 persen) di antaranya yang sebagian besar dari Fraksi Partai Aceh menolak calon independen, sedangkan sisanya 27 orang (40,3 persen) abstain.
Munculnya ketakutan elite PA memang bisa dipahami lantaran dalam lima tahun belakangan, citra partai ini tercoreng di mata masyarakat. Apalagi, kata Ganjar, Aceh merupakan daerah pertama di Indonesia yang membolehkan majunya calon perseorangan dalam pemilukada.
“Kalau tidak ada keresahan, kenapa mesti takut? Padahal kan calon independen itu sendiri justru berasal dari Aceh. Lalu diikuti seluruh daerah di Indonesia. Lalu kenapa sekarang jadi seolah takut?” tukas Ganjar.
Sementara Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti mengatakan, pemerintah pusat harus tegas dalam mengambil sikap dalam menjaga proses demokratisasi di Aceh dengan menjalankan tahapan pemilukada. Artinya, sikap politik Partai Aceh dan GAM yang menuntut mundur agenda Pemilukada Aceh adalah tindakan irasional, bertentangan dengan konstitusi dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
‘’Pemerintah harus bersikap tegas berjalannya demokrasi di Aceh, dengan menjaga pilgub Aceh berjalan sesuai tahapan, pengambilan suara 14 November 2011. GAM/PA kedudukannya dimata hukum sejajar dengan Organisasi Politik lainnya, dan damai Aceh sudah pada titik kulminasi dan harus kembali pada kehidupan normal seperti provinsi lainnya,” kata Ray.
Selain itu kata Ray pula, pemerintah harus tegas munculnya wacana dari desakan tokoh GAM/Partai Aceh agar Presiden SBY membuat Perpu tentang pemilihan Gubernur Aceh secara langsung oleh DPRA. Padahal, secara terang benderang kebijakan tersebut hanya akan mematikan demokratisasi di Aceh.
‘’Bukankan suatu kemunduran kalau gubernur Aceh dipilih langsung oleh DPRA? Jangan sampai persoalan internal Partai Aceh yang dipicu oleh kedangkalan wawasan dan prilaku arogansi elite Partai Aceh dalam kehidupan politik maupun sosial mematikan tatanan demokrasi yang tumbuh di Aceh,’’ paparnya.
Ray melihat, ada upaya dari segelintir elite parpol Aceh yang ingin menciptakan grand strategy dalam membentuk opini bahwa Aceh memiliki “kedaulatan hukum” yang tidak dapat diintervensi oleh konstitusi Indonesia sekalipun. ‘’Jika seperti ini tidak berbeda dengan bentuk separatis gaya baru yang mengedepankan siasat pendekatan hukum,’’ cetusnya.
Sumber : JPNN.COM