Banda Aceh - Tradisi dipilihnya putra terbaik Aceh untuk membantu Presiden dalam jajaran kabinet sudah mulai dilakukan sejak masa Presiden Soekarno. Tradisi itu bertahan hingga masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini.
Menurut politisi senior Aceh, H Karimun Usman, tradisi ini menunjukan bahwa putra-putra terbaik Aceh selalu mendapat kepercayaan dalam pemerintahan di jenjang menteri dalam menata bersama republik ini."Menurut catatan saya, setidaknya ada 12 menteri dari sejak masa Presiden Soekarno hingga saat ini," ujar Karimun Usman kepada sejumlah wartawan saat bertandang ke Kantor PWI Aceh, Kamis (20/10) menanggapi terpilihnya Azwar Abubakar sebagai Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi.
Dikatakan, pada masa Soekarno para menteri yang berasal dari Aceh ialah Menteri Agama Tgk Marhaban, Menteri Bank Sentral T Yusuf Muda Dalam, dan Syarief Thaib sebagai Menteri Perguruan Tinggi.
Pada masa Presiden Soeharto, ada sejumlah menteri antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, Menteri Koperasi/Kabulog Bustanil Arifin, Menteri Pangan/Kabulog Ibrahim Hasan, dan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief.
Pada masa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ada menteri Hukum dan HAM Hasbalah M Saad. Pada masa Presiden Megawati, politikus PPP Bachtiar Chamsyah dipercaya sebagai Menteri Sosial (Mensos).
Sedangkan pada masa Presiden SBY, dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, ada nama Sofjan Djalil sebagai Menteri Infokom lalu menjadi Menteri BUMN. Pada KIB jilid II ada nama Mustafa Abubakar sebagai Meneg BUMN akhirnya diganti karena alasan kesehatan. Kini, Azwar Abubakar ditunjuk menjadi Men-PAN dan Reformasi Birokrasi.
Di sisi lain, Karimun yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh memberikan apresiasi kepada Presiden SBY dengan pernyataannya saat menyampaikan pidato tentang kebijakan kerjanya selama tiga tahun ke depan yang menjadikan keamanan Aceh dan Papua merupakan harga mati yang harus dipertahankan.
Menurut Karimun, pernyataan ini harus bisa dipahami dan dilaksanakan seluruh pejabat pusat dan daerah. Mereka harus bisa menjalankan kebijakan yang sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh yang berlaku di Aceh saat ini.
Untuk itu semua pihak, lanjutnya, mulai dari pusat hingga ke daerah harus satu persepsi demi keutuhan perdamaian di Aceh yang telah berjalan enam tahun lebih sejak MoU Helsinki pada 2005.
"Jangan terjemahkan UUPA sesuai kepentingan masing-masing di mana ada kesan jika menguntungkan menggunakan UUPA jika tak menguntungkan meninggalkan UUPA," tegas Karimun.
harian analisa