Banda Aceh — Aceh memiliki landscape adalah laut, sungai dan sawah. Reproduksi kebudayaan di Aceh ada di landscape laut, Islam datang ke Aceh semuanya di landscape pertama, padahal landscape ini menjadi tameng kebudayaan.
Kemudian landscape kedua adalah sungai. Pada landscape ini lahir reproduksi kebudayaan dan keagamaan. Setiap ada tikungan ada sungai, kemudian ada pasar, masjid dan madrasah. Di sinilah reproduksi kegiatan ekonomi dan keagamaan yang dilakukan masyarakat.
Hal tersebut dikatakan oleh antropolog Aceh, Kamaruzzaman Bustamam — Ahmad saat berdikusi membedah buku “Kearifan Lokal di Laut Aceh” di Aula Fakultas Hukum Unsyiah, Jum’at (16/9).
Alumnus mahasiswa S-3 La Trobe University, Melbourne, Australia pada jurusan Sosiologi dan Antropologi itu mengatakan pada landscape kedua ini semua kegiatan masyarakat dilakukan oleh sungai dan terjadi kontak budaya antara laut dan sungai sehingga terus memproduksikan kebudayaannya.
Sedangkan landscape ketiga adalah sawah yang menjadi tameng kebudayaan atau benteng terakhir kebudayaan. Sekarang banyak yang sudah berubah karena pengaruh ICT yaitu information community tehnology.
Soal cara berpikir masyarakat Aceh saat ini sudah berubah. Bagaimana pengaruh alam menjadi doktrin cosmik orang Jawa tapi di Aceh sudah hilang. Cara kita hidup, cara kita melakukan sesuatu tidak lagi melihat alam sebagai kawan.
Kini budaya Aceh tidak lagi menentu, karena alam tidak lagi menjadi faktor penting dalam tata cara berfikir masyarakat Aceh. Saat ini orang lebih cendrung berpikir pragmatis, artinya “pemikiran daripada buat kuah pliek lebih baik pergi ke CFC,” kata Kamaruzzaman.
Itu cara berpikir masyarakat kita yang sudah berubah. Pemerintah juga tidak punya langkah bagaimana mengembalikan doktrin cosmik itu kedalam sistem berpikir orang Aceh. Tidak ada upaya bagaimana meminta kembali bahwa alam itu harus dijaga bukan kita potong kayu. “Bagaimana alam itu menjadi landasan kuat orang Aceh untuk berfikir,” kata dia lagi.
Menurut Kamaruzzaman, kalau melihat kebudayaan orang Aceh, semua dilakukan berdasarkan alam. Cara berpikir yang berubah ada dua hal, yang pertama adalah perubahan kewenangan dan perubahan kekuasaan. Dulu kekuasaan dan kewenangan ini berjalan bersama tapi sekarang sudah tidak ada lagi.
Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh mencotohkan, pada bulan puasa di gampong-gampong, jika ada sekelompok pemuda melihat seorang tengku atau ulama pergi ke mesjid saat azan maka kawanan pemuda itu juga ikut pergi ke mesjid. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Maksudnya ada kewenangan yang tersirat dari ulama tersebut sehingga ia mampu membawa perubahan. “Di Aceh sudah tidak ada lagi itu sekarang,” tukas Kamaruzzaman.
Hal tersebut menjadi satu akar masalah, bagaimana dalam kontek kekinian siapa ketokohan sudah tidak ada lagi. Dulu orang Aceh tidak ada yang kaya, tapi banyak emas dan lembu. Karena orang Aceh dulu memiliki konsep kerangka meukat, kerangka hareukat, gerak mereka harus bereukah. Kalau dibandingkan dengan sekarang maka mengubah cara berpikir orang Aceh butuh waktu 30 tahun. Demikian Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Kemudian landscape kedua adalah sungai. Pada landscape ini lahir reproduksi kebudayaan dan keagamaan. Setiap ada tikungan ada sungai, kemudian ada pasar, masjid dan madrasah. Di sinilah reproduksi kegiatan ekonomi dan keagamaan yang dilakukan masyarakat.
Hal tersebut dikatakan oleh antropolog Aceh, Kamaruzzaman Bustamam — Ahmad saat berdikusi membedah buku “Kearifan Lokal di Laut Aceh” di Aula Fakultas Hukum Unsyiah, Jum’at (16/9).
Alumnus mahasiswa S-3 La Trobe University, Melbourne, Australia pada jurusan Sosiologi dan Antropologi itu mengatakan pada landscape kedua ini semua kegiatan masyarakat dilakukan oleh sungai dan terjadi kontak budaya antara laut dan sungai sehingga terus memproduksikan kebudayaannya.
Sedangkan landscape ketiga adalah sawah yang menjadi tameng kebudayaan atau benteng terakhir kebudayaan. Sekarang banyak yang sudah berubah karena pengaruh ICT yaitu information community tehnology.
Soal cara berpikir masyarakat Aceh saat ini sudah berubah. Bagaimana pengaruh alam menjadi doktrin cosmik orang Jawa tapi di Aceh sudah hilang. Cara kita hidup, cara kita melakukan sesuatu tidak lagi melihat alam sebagai kawan.
Kini budaya Aceh tidak lagi menentu, karena alam tidak lagi menjadi faktor penting dalam tata cara berfikir masyarakat Aceh. Saat ini orang lebih cendrung berpikir pragmatis, artinya “pemikiran daripada buat kuah pliek lebih baik pergi ke CFC,” kata Kamaruzzaman.
Itu cara berpikir masyarakat kita yang sudah berubah. Pemerintah juga tidak punya langkah bagaimana mengembalikan doktrin cosmik itu kedalam sistem berpikir orang Aceh. Tidak ada upaya bagaimana meminta kembali bahwa alam itu harus dijaga bukan kita potong kayu. “Bagaimana alam itu menjadi landasan kuat orang Aceh untuk berfikir,” kata dia lagi.
Menurut Kamaruzzaman, kalau melihat kebudayaan orang Aceh, semua dilakukan berdasarkan alam. Cara berpikir yang berubah ada dua hal, yang pertama adalah perubahan kewenangan dan perubahan kekuasaan. Dulu kekuasaan dan kewenangan ini berjalan bersama tapi sekarang sudah tidak ada lagi.
Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh mencotohkan, pada bulan puasa di gampong-gampong, jika ada sekelompok pemuda melihat seorang tengku atau ulama pergi ke mesjid saat azan maka kawanan pemuda itu juga ikut pergi ke mesjid. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Maksudnya ada kewenangan yang tersirat dari ulama tersebut sehingga ia mampu membawa perubahan. “Di Aceh sudah tidak ada lagi itu sekarang,” tukas Kamaruzzaman.
Hal tersebut menjadi satu akar masalah, bagaimana dalam kontek kekinian siapa ketokohan sudah tidak ada lagi. Dulu orang Aceh tidak ada yang kaya, tapi banyak emas dan lembu. Karena orang Aceh dulu memiliki konsep kerangka meukat, kerangka hareukat, gerak mereka harus bereukah. Kalau dibandingkan dengan sekarang maka mengubah cara berpikir orang Aceh butuh waktu 30 tahun. Demikian Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
The Globe Journal