Banda Aceh – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan kisruh seputar Pemilukada 2011 tidak akan mengganggu perdamaian Aceh. Perbedaan pandangan sesuatu yang biasa dalam kancah politik, tak terkecuali di Aceh.
”Yang terjadi di Aceh sekarang adalah konflik politik, sehingga tidak akan pernah mengganggu perdamaian. Kisruh semacam ini bisa terjadi di mana saja, lebih-lebih di Jakarta,” kata JK yang juga perintis perdamaian Aceh, di sela-sela Dies Natalis Unsyiah, Senin (12/9).
JK menyarankan para pihak di Aceh mengikuti aturan dan hukum yang berlaku. Keputusan untuk menjalankan Pemilukada Aceh 2011 dengan calon independen di dalamnya dinilai suatu hal yang mutlak dan wajib diterima semua pihak di Aceh.
Selain itu, lanjut dia, semua pihak di Aceh nantinya juga harus mengakui siapapun calon yang terpilih dalam Pemilukada. “Sikap kesantrian sangat diperlukan dalam menjaga perdamaian di Aceh,” katanya.
JK meyakini bahwa para politisi Partai Aceh juga akan menerima keputusan MK yang membolehkan lagi calon independen dalam Pemilukada Aceh. “Apalagi Hasan Tiro (deklarator Gerakan Aceh Merdeka) sendiri sebenarnya adalah penulis buku demokrasi. Sudah pasti, para pengikutnya akan mengikuti jejak beliau,” kata Ketua Umum PMI ini.
Namun untuk mencegah timbulnya konflik susulan dan meredam kekhawatiran politisi Partai Aceh, tambah JK, masyarakat Aceh diimbau tidak lagi mengajukan judicial review atau keinginan untuk membatalkan pasal-pasal yang terdapat dalam UUPA. Karena, kata dia, semua pasal yang terdapat di UUPA memiliki arti dan makna penting bagi perdamaian Aceh.
“Kalau bukan orang Aceh sendiri yang menggugat, Mahkamah Konstitusi tidak mungkin menghapusnya. Oleh karena itu, kesadaran inilah yang harus dimiliki oleh orang Aceh. Saya sendiri sudah mengatakan pada MK, jangan latah dalam menghapus pasal-pasal di UUPA. Pasal-pasal tersebut memiliki arti tersendiri bagi Aceh dan mereka (MK) mengiyakan,” kata JK.
Mentalitas Konflik
Di kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Muhammad Nazar mengatakan yang harus dihilangkan dalam diri masyarakat Aceh sekarang ini adalah mentalitas konflik. “Bila mentalitas konflik tidak dibuang jauh-jauh, ini yang berpotensi memperkeruh perdamaian,” katanya.
Contoh terbaru adalah penganiayaan terhadap Khatib Jumat, Tgk Saiful Bahri Bin Ahmad Abu, 41, di Masjid Raya Keumala, Pidie, Jumat (9/9) lalu. ”Perilaku tersebut terjadi karena mentalitas konflik belum hilang sepenuhnya pada diri masyarakat Aceh. Karena itu, polisi harus berani mengusut tuntas kasus ini tanpa melihat siapa pelakunya. Tadi (kemarin) di media lokal, Zakaria Saman (mantan Menteri Pertahanan GAM) juga mengaku ada di lokasi kejadian. Seharusnya polisi juga memeriksa dia,” kata Nazar di sela-sela menghadiri Dies Natalis Unsyiah ke-50, kemarin.
Menurutnya, kasus penganiayaan terhadap Khatib Jumat itu adalah satu dari serangkaian kasus yang menunjukkan masih tingginya perilaku main hakim sendiri di kalangan masyarakat Aceh. “Keadaan tidak normal ini dapat memperkeruh perdamaian,” katanya.
Diakatakannya, pemukulan khatib saat khotbah Jumat di Masjid Raya Keumala itu merupakan kasus pertama yang terjadi di Aceh maupun dunia Islam saat ini. Kejadian itu amat memalukan serta mencoreng wajah Aceh sebagai daerah yang menerapkan Syariat Islam.
Di Palestina misalnya, kata Wagub, memang banyak terjadi penangkapan terhadap khatib salat Jumat oleh pasukan militer Israel karena membawa khotbah yang bersifat kritis serta menentang negara zionis tersebut. Namun penangkapan itu dilakukan setelah salat Jumat. “Ini di Aceh justru dilakukan di tengah-tengah khotbah. Padahal, khotbah Jumat merupakan rukun yang menggantikan salat dua rakaat. Inilah yang patut disesalkan dan polisi harus berani bertindak,” kata Muhammad Nazar.
Jika kasus ini tidak diusut tuntas, tambah dia, maka dikhawatirkan kasus serupa akan kembali terulang di masa mendatang. Para ulama yang kritis juga akan bungkam terhadap kezaliman yang merajalela. ”Tapi kita berharap, kasus ini tidak boleh membuat ulama bungkam dalam menyuarakan kebenaran,” kata Wagub.(mrd)
| Harian Aceh