Kartu JKA |
Oleh Ns Fauzan Saputra
Kasus meninggalnya M Jafar, warga Alue Bilie Aceh Utara yang dirawat di Rumah Sakit Umum Cut Mutia (RSUCM) Lhokseumawe karena keterlambatan penanganan medis membuktikan bahwa betapa carut-marutnya pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang diklaim sebagai salah satu program pro-rakyat kabinet Irwandi-Nazar. Hal ini seakan mengungkit kembali luka lama sebagian besar pengguna layanan JKA ini (Harian Aceh, 10/8/2011). Kondisi ini tidak dapat dibiarkan, salah satu lembaga YARA menyoroti dan mendesak bupati Aceh Utara harus mencopot direktur RSUCM (Harian Aceh, 15/8/2011). Tulisan ini bermaksud mem-flashback mengenai kelahiran dan implementasi program JKA yang telah digulirkan sejak tahun 2010.
Pesona JKA
Sejak pertama kali luncurkan, JKA dirasakan sebagai angin segar bagi masyarakat Aceh. Kehadirannya tak ubah seperti tiupan angin sepoi di pinggir pantai, begitu menyejukkan dan menenangkan, terutama bagi masyarakat yang selama ini belum atau tidak memiliki jaminan kesehatan apapun. Pesona JKA ternyata tidak hanya membius Aceh. Setidaknya sudah lima provinsi di Indonesia melakukan studi banding ke Aceh untuk mempelajari JKA, seperti yang dilangsir Harian Serambi Indonesia (27/05/2011) dengan judul “Klaim Dana JKA Mulai Dibayar: Sejumlah Provinsi Studi Banding ke Aceh”. Dalam tulisan tersebut, saya mengutip pernyataan Kasubag Promosi Kesehatan Dinkes Aceh, Saifullah Abdulgani, yang menyampaikan bahwa “Kelima daerah tersebut, Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Provinsi Banten”.
Suatu prestasi yang tidak bisa dianggap biasa, karena ternyata pemerintah di luar Aceh saja ingin belajar mengenai JKA. Apakah memang JKA memiliki daya tarik yang begitu luar biasa, sehingga menggerakkan saudara kita dari provinsi lain untuk mempelajari JKA? Sepertinya kita perlu melakukan sedikit napak tilas proses kelahiran program JKA ini.
Kelahiran JKA
Berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh N0.20/483/2010 mengenai Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh tanggal 3 Agustus 2010, disebutkan bahwa program JKA ini berlaku surut sejak tanggal 1 Juni 2010. Bila demikian, berarti program ini telah dapat dinikmati oleh masyarakat Aceh sejak pertengahan tahun lalu. Tetapi yang menjadi pertanyaan, kapan program ini disosialisasikan kepada masyarakat? Apakah sosialisasi yang digunakan berupa sosialisasi On The Spot? Bila ya, sudah tepatkah “sosialisasi di lapangan” ini digunakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai JKA?
Pertanyaan yang tidak kalah penting, apakah masyarakat benar-benar paham cara mengakses pelayanan JKA? Fasilitas-fasilitas apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat bila mereka ingin menggunakan pelayanan yang berbekal Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Keluarga (KK) Aceh ini?
Tidak bisa dipungkiri, bahwa program JKA memang telah banyak membantu masyarakat Aceh untuk mengakses pelayanan kesehatan dan biaya pengobatan yang relatif mahal dan semakin tidak terjangkau bagi masyarakat. Tidak seperti wilayah lain di Indonesia, di mana masyarakat miskin yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit harus menerima penolakan mentah-mentah hanya karena tidak sanggup membayar “uang jaminan di muka” sehingga mereka harus menunggu lama di pintu ruang gawat darurat. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa dipulangkan sebelum mendapat penanganan yang tepat dan cepat.
Masyarakat Aceh lebih beruntung. Setidaknya kita tidak perlu pusing memikirkan dari mana uang yang akan kita gunakan untuk membayar fasilitas kesehatan yang kita gunakan. Hanya dengan membawa fotokopi KTP dan KK Aceh saja. Cukup! Tetapi apakah program ini telah sempurna dan bebas cacat?
Pelayanan JKA
Sebagai program yang lahir prematur, JKA telah dilaksanakan jauh hari sebelum dilakukan sosialisasi dengan baik. Sehingga tidak jarang masyarakat mengeluhkan pelaksanaannya di lapangan. Mulai dari alur rujukan JKA, siapa saja yang berhak mengakses JKA, sampai pelayanan apa saja yang bisa didapatkan masyarakat. Masyarakat merasa belum mendapatkan informasi yang cukup. Program ini dituding sebagai program “sapu jagat” yang artinya selama pasien tersebut memiliki KTP dan KK Aceh maka mereka berhak mengakses pelayanan JKA, sehingga fasilitas JKA juga bisa atau telah dinikmati oleh kalangan Jetset Aceh. Kaum kaya tersebut biasanya menggunakan JKA untuk menjalani operasi, padahal mereka tentu saja lebih dari mampu untuk membiayai kebutuhan kesehatan mereka sendiri.
Sebagai bagian dari masyarakat, penulis menilai hal ini kurang adil, karena ada masyarakat miskin lain (yang tidak memiliki kartu Jamkesmas dan Askesekin) yang akhirnya harus mengantri pelayanan kesehatan dikarenakan rumah sakit yang ditunjuk JKA telah sesak pasien. Tidak jarang, sebagian masyarakat harus ditolak pihak rumah sakit karena tidak ada tempat tidur yang tersisa. Tetapi, bagi masyarakat yang sedang atau pernah mendapat pelayanan JKA, ceritanya lain lagi.
Berhasilkah JKA?
Tingginya animo masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan semenjak diberlakukannya JKA benar-benar mencengangkan. Setidaknya salah satu indikator program JKA tercapai yaitu secara kuantitas, dibuktikan dengan penuhnya kapasitas tempat tidur yang disediakan untuk pasien JKA. Tetapi bagaimana dengan kualitas pelayanan kesehatannya? Sering kita mendengar keluhan dari masyarakat mengenai hal tersebut. Masyarakat pengakses JKA merasa tidak puas dengan pelayanan yang ada. Seolah-olah, masyarakat kita tidak diberikan pilihan atau bahkan tidak boleh memilih pelayanan kesehatan yang mereka kehendaki.
Sehingga akhirnya, mereka hanya bisa pasrah, tanpa tahu secara pasti apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai pasien. “Daripada bayar lebih baik diam”, mungkin itu prinsip yang mereka yakini. Hal ini bertentangan dengan indicator output yang diamanatkan di dalam Pedoman Pelaksanaan (Manlak) JKA yang mensyaratkan adanya survey kepuasan peserta dengan tingkat kepuasan peserta minimal 75%. Apakah survey semacam ini pernah dilakukan? Bila Ya, apakah mencapai minimal 75%? Mengapa kita tidak pernah mendengar berita mengenai kepuasan pelanggan JKA?
Benar memang, panitia pelaksana JKA memiliki nomor pengaduan untuk melayani keluhan masyarakat, yaitu nomor 0800 11 27537 dan nomor (0645) 500 400. Tetapi kedua nomor tersebut tidak bisa dihubungi pada hari libur kerja. Saya pernah menghubungi pada hari Sabtu pukul 12.30 WIB, tetapi hanya disambut oleh mesin penjawab seperti ini “maaf, silahkan hubungi pada hari dan jam kerja”. Seolah-olah, masyarakat dilarang mengeluh pada hari libur dan diharap maklum dengan keadaan yang ada. Apakah karena kita menggunakan JKA maka pelayanan kesehatan yang kita dapatkan tidak berkualitas? Dengan segala macam kekurangannya, pantaskah program JKA ini dipertahankan?
Catatan Akhir
Menurut penulis program JKA ini masih layak dipertahankan dengan berbagai catatan. Pertama, sosialisasi harus terus dilakukan guna menjangkau masyarakat di akar rumput (grass-root) sampai ke wilayah-wilayah pedalaman sehingga para Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Tengku Imuem, dan Tokoh Pemuda Desa mendapat informasi yang kuat mengenai mekanisme JKA. Kedua, sistem administrasi pendataan (Data Base) peserta JKA, untuk memastikan masyarakat pengakses JKA lebih tepat sasaran. Ketiga, kualitas pelayanan perlu ditingkatkan, melalui pelaksanaan survey kepuasan pasien dan dipublikasikan di media lokal agar masyarakat dapat ikut mengevaluasi pelaksanaan program JKA. Keempat, hendaknya nomor-nomor pengaduan masyarakat dapat diakses 24 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu, dan agar ditindaklanjuti sesuai dengan keluhan yang dirasakan oleh pasien dan keluarganya.
Akhirnya kita berharap semoga kasus-kasus yang berhubungan dengan penerapan JKA di Aceh tidak terulang kembali sehingga masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan yang berkualitas dan sama baiknya dengan pelayanan rumah sakit swasta, dan yang paling penting “tanpa syarat”. Semoga tidak ada lagi M Jafar berikutnya yang menjadi korban carut marutnya pelaksanaan JKA di Nanggroe yang kita cintai ini. Insya Allah.[]
*Penulis merupakan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan Praktisi Kesehatan.
Harian Aceh