Oleh:
Aliya Nurlela
Ketika
seseorang berada dalam kondisi terpuruk, tak memiliki
kekuatan, tak juga semangat dan tak memiliki harapan akan hari esok yang
cerah.
Ketika vonis dari manusia telah menjatuhkan bahwa “kamu tidak akan
tertolong”.
Ketika tubuh hanya bisa meringkuk, bagai seonggok daging tak berguna.
Ketika
air mata tak henti mengalir dan menciptakan telaga baru. Ya, telaga air
mata
sendiri. Dalam kondisi terpuruk seperti itu, apa yang bisa dilakukan
seseorang?
Mungkin,
hanya tangis dan kepedihan yang menjadi teman
bicara. Akan selalu bertanya, di manakah letak pertolongan itu? Andai
aku tahu,
letak pertolongan itu, maka akan kuraih dan kugenggam erat. Aku ingin
menolong
diriku sendiri untuk bangkit dari keterpurukan dan ketidakberdayaan. Aku
ingin
mendobrak semua kepedihan yang sangat menyayat hati. Aku ingin
menunjukkan pada
Sang Pencipta takdir ini bahwa aku menerima takdir-Nya dengan lapang.
Tidak
cengeng, tidak mengeluh dan uring-uringan. Namun, itu sulit kulakukan.
Meskipun
ilmu tentang sabar dan syukur sudah kupelajari dan
kubaca berulang-ulang, namun ketika kenyataan mengharuskan kita
berhadapan
dengan kondisi yang menuntut kita bersabar dan bersyukur, ternyata itu
sangat
berat dilakukan. Menerima kenyataan tak semudah menerima teorinya.
Praktik itu
lebih sulit. Itulah yang kurasakan.
Ujian
itu datang tak pernah diundang. Mengejutkan. Sebuah
penyakit yang bercokol di tubuh dan tidak terdeteksi medis. Semua dokter
ahli
yang menangani, sudah angkat tangan. Menurut mereka, tak ada penyakit
dan tak
ada obatnya. Hanya disarankan memohon pada Sang Pemberi sakit. Itulah
solusi
akhir. Seyogyanya, kepasrahan pada Allah memang menjadi kunci awal untuk
bersandar diri. Bukan memposisikan di akhir ketika berada di ambang
tipisnya
harapan. Mendatangi dokter dan mengkonsumsi obat, hanyalah sebagai
bentuk usaha
untuk memfasilitasi menuju jalan kesembuhan. Bukan dokter atau obat yang
menyembuhkan.
Ketika
para medis yang ahli dalam bidang kedokteran saja
mengatakan tak ada obatnya dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Hanya
satu
pilihan kita. Pengobatan komprehensif lahir bathin! Aku pasrahkan
sepenuhnya
kesembuhan ini pada Sang Pemberi sakit. Aku memohon padanya melalui
cara-cara
pengobatan yang telah diajarkan oleh utusan-Nya. Bersandar diri
sepenuhnya,
bersedekah untuk kesembuhan, berzikir dan membaca ayat-ayat-Nya. Lalu, back to nature. Mengambil obat-obatan
dari alam untuk menguatkan fisikku yang lemah.
Kakiku
lumpuh. Tak bisa dipakai untuk berjalan. Sekadar
menggeser atau membalikkan badan saja, aku tak mampu. Aku harus minta
bantuan
orang lain. Aku benar-benar berada dalam kondisi tak berdaya. Air mata
tak
henti meleleh dari pipiku, kala itu. Meskipun, aku menangis hanya pada
saat lagi
sendiri. Aku takut kejadian lebih buruk akan menimpaku. Betapa sedihnya
jika
aku harus tergolek selamanya dan meminta uluran tangan orang lain untuk
membantu. Benar-benar aku was-was dan khawatir.
Tak
ada yang bisa kulakukan di tempat tidur dalam kondisi
lumpuh. Aku hanya bisa menangis dan menghibur diri. Agar aku tegar dan
menerima
ujian darinya. Tapi berat, sungguh berat. Tak bisa kubohongi diri ini.
Di hadapan
keluarga dan orang-orang yang menjengukku, aku bisa tersenyum meskipun
tak
sempurna. Namun sesungguhnya, hatiku menangis. Ketika mereka tak ada,
mukaku
akan bersimbah air mata. Tidak bisa kubendung. Air mata itu seperti air
bah
yang terus menerjang, menjebol tanggul di mataku. Aku merasa berenang di
telaga
airmataku sendiri.
Lumpuh
tiga bulan! Waktu itu belum mengenal facebook, apalagi
email, juga belum
memiliki laptop. Jenuh, sangat jenuh. Ketika dalam waktu tiga bulan
harus
tergolek dan tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan jalan untuk
mengalihkan
rasa sedih dan sakitku. Dalam kondisi lumpuh itu, berat badanku sudah
turun 20
kg. Rambutku rontok. Hanya tersisa beberapa helai saja. Muka dan kulitku
menghitam.
Aku takut melihat mukaku di cermin. Aku menjauhkan cermin. Aku seperti
benci
cermin sejak aku sakit. Sementara di perutku ada benda yang selalu
bergerak-gerak tetapi tidak terdeteksi alat-alat medis. Sudah
berulangkali di
USG dan rontgen, para medis tak menemukan apapun. Tapi anehnya saat
dilihat dan
dipegang, sangat jelas benda itu ada. Beberapa bagian tubuhku, seperti
disayat-sayat
silet dan mengeluarkan darah. Entah bagaimana terjadinya proses
sayatan-sayatan
itu, aku tak mengerti.
Mengenaskan
sekali kondisiku waktu itu. Aku sering terjaga
di malam hari dan tidak bisa tidur hingga subuh tiba. Aku menangis,
melamun dan
merenung. Aku hanya diajarkan untuk selalu menyebut nama-Nya dalam
setiap
tarikan napasku agar ‘gangguan’ itu segera enyah dari tubuhku. Dan
memang hanya
menyebut nama-Nya yang bisa kulakukan sambil berbaring. Salat pun
kulakukan
sambil berbaring. Mengambil wudhu harus minta bantuan. Jika tak ada
orang, aku
tayamum. Dan hanya berbekal tasbih, usai salat aku zikir semampuku.
Dalam
kondisi seperti itu, aku membayangkan hal-hal yang
tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benakku. Jika saja aku tidak
tertolong,
seperti pernyataan para medis itu. Lalu apa yang bisa kutinggalkan untuk
keluargaku? Harta aku tak punya dan karya pun tak ada. Tak ada yang bisa
diberikan
dan tak ada yang pantas untuk dikenang.
Kalaupun
Allah masih memberikan pertolongan tetapi dalam
kondisi aku tetap lumpuh, lalu apa pula yang bisa menjadi catatan karya
dalam
hidupku yang bisa kuceritakan pada anak-anak dan cucuku kelak? Tidak
sekadar
cerita, tetapi yang bisa kubagikan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
mereka.
Jika saja aku mengatakan bahwa aku dulu seorang penulis. Lalu, bagaimana
jika
kelak cucuku bertanya, “Katanya dulu nenek penulis. Tapi mana buku karya
nenek?” Wah, benar juga ya. Tak ada jejak sebagai seorang penulis. Hanya
cerita
dari mulut saja. Cerita itu pun perlahan akan menguap ke udara dan tak
ada yang
mengingatnya lagi. Kalaupun pernah punya tulisan di koran yang pernah
dimuat, itu
koran jadul, yang anak cucu tidak mengenalnya. Bahkan, mungkin redaksi
koran
tersebut sudah tidak menerima naskah lagi, alias sudah buyar.
Jika
aku memberikan buku tulis atau diari yang menjadi
tempatku menulis setiap hari, apakah mereka tertarik? Jaman semakin
maju. Tekhnologi
semakin canggih. Anak-anak sekarang lebih suka membaca melalui layar
komputer.
Bukan buku tulis, apalagi dengan tulisan yang sulit dibaca. Membuat
mereka
ngantuk. Mungkin tidak akan berlaku pendapat bahwa tulisan yang menarik
itu
adalah tulisan yang membuat orang tidur menjadi terbangun, orang diam
menjadi
bergerak, orang berjalan menjadi berlari. Ini sebaliknya, orang bangun
menjadi
tertidur. Hmm… benar, tak ada jejak yang bisa dikenang dan bermanfaat
bagi
generasiku berikutnya.
Aku
seolah tersadar. Mataku seolah terbuka lebih lebar.
Tiba-tiba semangatku mulai tumbuh, menyeruak dan mendorong-dorong agar
aku
berbuat lebih baik. Menumbuhkan tekad yang kuat agar aku menghentikan
tangisku
dan mulai berkarya. Sebelum kehilangan semuanya, berkaryalah! Aku telah
kehilangan kekuatan kakiku untuk bergerak, tapi bukankah pikiran dan
hatiku
masih bisa diajak ‘bergerak?’ Aku tidak ingin meringkuk bermandikan
tangis dan
tak berguna hingga akhir hayatku. Banyak orang cacat sejak lahir, mereka
semangat dan berbuat. Mengapa aku yang diberikan kesehatan sekian tahun
dan
baru diuji beberapa bulan saja, tak mampu menstabilkan semangatku? Aku
harus
bisa!
Aku
tidak mau seperti halnya pohon cemara. Saat hidup
terlihat elok meliuk-liuk ditiup angin. Banyak orang mengagumi dan ingin
memiliki. Pohonnya pun mahal harganya. Tapi ketika akar-akarnya
tercerabut,
layu dan mati, siapa yang tertarik padanya? Tak seorang pun peduli. Ia
tak
berguna sama sekali. Jangankan untuk hiasan, untuk kayu bakar pun tidak.
Sungguh ironi. Saat masih sehat berdiri kokoh, disanjung dan
diperebutkan
banyak orang. Tetapi saat sakit dan mati tak seorang pun peduli.
Tidak!
Aku tidak ingin menyia-nyiakan sisa hidupku. Biarlah
Allah berbuat sesuai kehendak-Nya atas titipan yang diberikan-Nya
padaku. Tapi
aku pun harus berbuat dan berusaha sesuai ilmu dan ilham yang
dititipkan-Nya.
Lumpuh kaki bukan berarti pikiran dan hatiku ikut lumpuh. Aku harus
bangkit
dari keterpurukan. Yang bisa mengubah keadaan menjadi bahagia, hanya
aku. Semua
sumber kesedihan itu sebenarnya ada dalam diriku sendiri. Aku terlalu
dibayang-bayangi ketakutan. Hingga membuat kesedihanku tak berujung.
Jika
para wanita sahabatnya Zulaikha, bisa lupa akan
sakitnya saat mereka melihat ketampanan Yusuf, berarti aku pun bisa.
Para
wanita sahabat Zulaikha itu tak sadar dan tak merasakan sakit saat jari
jemari
mereka terpotong pisau. Sebab, ingatan mereka hanyut dalam pesona
ketampanan
Yusuf. Dahsyat sekali. Itu artinya, aku harus mengalihkan ingatanku
bukan pada
penyakitku, tetapi pada sesuatu yang aku sukai. Agar lupa sakitnya dan
lupa
untuk bersedih. Benar, mulai saat itu aku menjadikan terapi untuk
kesembuhanku
salahsatunya dengan membaca dan menulis. Itulah hal yang aku sukai sejak
kecil.
Membaca dan menulis ternyata aktivitas yang cocok dilakukan oleh orang
yang
tidak bisa berjalan. Aku merasa terhibur. Aku bertambah wawasan meskipun
aku
tergolek di tempat tidur.
Aku
juga bisa menuangkan perasaanku dalam tulisan. Aku
menghindari rangkaian kata-kata yang mengundang tangis, yang
mengundangku untuk
terpuruk lagi. Aku menguatkan diri. Tak seorang pun bisa mengubahnya,
kecuali
aku sendiri. Ya, aku harus berubah untuk kebaikanku sendiri. Akhirnya,
aku
enjoy sekali membaca dan menulis. Buku-buku berserakan di tempat tidur.
Merekalah temanku berbagi, yang bisa dibuka kapan saja. Kutuliskan kisah
sakitku dengan bahasa remaja. Agar ceria dan tak menyeretku pada
jatuhnya airmata.
Aku berbicara konsep sedekah menjelang fajar. Sedekah sebagai salah satu
jalan
pengobatan. Kuceritakan kisah sakitku yang menempuh pengobatan salah
satunya
berobat lewat sedekah.
Aku
ingat pesan seorang ustad yang membimbingku, “Apabila
sakitnya parah, maka sedekah pun harus sebanding dengan sakitnya. Bukan
seribu-dua
ribu rupiah, tetapi harus ada niat dan pengorbanan total
untuk kesembuhan sakit itu.” Itu
artinya, orang sakit harus benar-benar berniat menyedekahkan hartanya
secara
pantas untuk kesembuhannya. Seperti kisah-kisah orang saleh pada masa
lalu.
Saat ditimpa penyakit berat, mereka mengalirkan sumur untuk kepentingan
orang
banyak, menyedekahkan hasil panennya, memerdekakan budak, menghibahkan
perhiasannya dan lain-lain. Dengan izin Allah, mereka mendapat
kesembuhan tanpa
bantuan medis.
Aku
yakin dengan kisah-kisah itu adalah bagian dari
keajaiban sedekah. Kuikuti nasehat baik itu. Dalam kondisi kita divonis
tak
tertolong lagi, yang kita pikirkan adalah benar-benar ingin berbuat yang
terbaik. Rasanya kesiapan diri total untuk berkorban harta itu memang
munculnya
saat kita berada di ambang kematian. Aku berusaha semampuku untuk
kesembuhan
dan hasilnya aku pasrahkan pada-Nya. Aku yakin pertolongan-Nya akan
datang tak
terduga.
Allah
menghiburku di suatu hari. Meskipun hingga kini aku
belum percaya dengan kejadian itu. Tapi aku merasa bersyukur, ada
seorang
misterius yang datang menghiburku saat sakitku sedang pada titik di
puncak
kritis.
Sore
itu, rombongan ustad dan santrinya datang menjengukku. Aku
mendengar suara kendaraan yang mereka bawa di parkir depan rumah.
Tiba-tiba
seorang perempuan berjilbab putih, bergaun lebar dan berhidung mancung
masuk ke
kamarku. Lalu menyentuh kakiku dan membelainya lembut. Ia bertanya,
“Sakit
apa?” Aku bingung harus menjawab apa. Bukankah dokter saja tidak tahu
jenis
sakitnya. Aku jawab saja, kakiku lemas. Ia bilang, “Kasihan sekali.” Ia
memijit-mijit kakiku. Wanita itu pun mengenalkan diri dan mengatakan
rombongan ustad.
Hanya beberapa menit ada di kamarku, ia pun pamit untuk ke ruang tamu.
Namun,
betapa kagetnya saat tak seorang pun dari anggota
rombongan itu yang membawa istri atau keluarga perempuan. Rombongan itu
semuanya laki-laki. Mereka hanya bengong mendengar penjelasanku.
Meskipun bulu
kudukku sedikit meriding, tapi aku berhusnudzan saja, semoga itu adalah
makhluk
baik yang dikirim untuk menghiburku. Bukankah seorang lelaki saleh yang
bernama
Imron bin Husein, pada saat sakitnya selalu dikunjungi malaikat yang
menyapanya
setiap hari. Meskipun keimananku tak sehebat keimanan Imron bin Husein,
tapi
tak ada salahnya aku berharap seperti yang terjadi pada lelaki saleh
itu.
Aku
membaca dan menulis pada saat sakit itu. Aku tidak mau
lagi mengikuti bayangan-bayangan buruk yang kuciptakan sendiri. Aku
menghapus
tentang vonis, prediksi dan ramalan-ramalan dari manusia. Aku siap
mengikuti
kehendak-Nya saja. Saat ada keinginan untuk memakai kursi roda, keluarga
dan
teman-teman menentangku. Sebab, aku tidak akan termotivasi untuk sehat.
Selamanya akan tergantung pada alat bantu. Benar, aku tak boleh punya
pikiran
untuk memakai kursi roda.
Setiap
hari, aku selalu menepuk-nepuk kakiku. Membacakan doa
dan mengurut sendiri dari atas ke bawah. Usai salat lima waktu aku
mengusapnya
dengan air putih yang telah kubacakan doa dari ayat-ayat Alquran. Aku
menjadi
tabib untuk sakitku sendiri. Berulang-ulang kali, aku berkata, “Aku
bisa! Aku
sembuh! Aku pasti bisa!” Kutepuk kakiku dan mengatakan, “Aku kuat!”
“Sembuh
dengan ijin Allah.” Aku terus mengatakan seperti itu untuk menguatkan
keyakinanku. Aku harus yakin dan husnudzan bahwa Allah akan memberikan
kesembuhan. Meskipun adakalanya saat mengatakan, “Aku bisa!” tiba-tiba
airmataku menetes lagi.
Pertolongan
Allah memang indah dan benar adanya. Dia
memberiku kesembuhan. Benda misterius yang ada di perutku hilang.
Kulitku yang
menghitam, akhirnya mengelupas. Aku berganti kulit. Rambutku tumbuh
kembali
layaknya rambut seorang bayi. Perlahan kakiku bisa digerakkan. Aku
belajar
merangkak, berpegangan pada dinding dan benda-benda yang ada di dalam
rumah.
Lalu belajar melepaskan pegangan tangan saat berjalan. Kebahagiaan pun
datang,
aku benar-benar bisa berjalan kembali bahkan berlari. Subhanallah,
aku merasa terlahir kembali. Memiliki kulit baru,
rambut baru, dan semangat hidup yang baru. Tangisku kali ini bercampur
dengan
senyuman. Alhamdulilah, atas
pertolongan-Nya.
Ternyata
tulisan yang kubuat saat sakit sudah setebal satu
buku tulis. Langsung kuketik. Aku ingat tekadku saat sakit, “Sebelum
kehilangan
semuanya, berkaryalah!” Ya, aku harus menghasilkan karya. Usiaku 30an
tahun
waktu itu. Tak apa, tak ada kata
terlambat untuk memulai. Jika sebelum itu aku hanya mengirim
tulisan-tulisanku
ke media, tapi setelah sakit ini, keinginanku semakin kuat untuk
memiliki
sebuah buku hasil karya sendiri. Sayang sekali, aku tak memiliki
pengetahuan
cara mengirim naskah ke penerbit. Aku gaptek sekali. Bahkan yang
kudengar,
untuk membuat buku kita diterbitkan harus melalui proses seleksi
beberapa
bulan. Jika naskah tidak diterima, maka penantian berbulan-bulan itu
berbuah
hampa. Rumit dan kecil harapan bisa diterima. Itu menurutku waktu itu.
Langkah
pertamaku, adalah menghubungi seorang penulis yang
bukunya pernah kubeli. Kebetulan ia mencantumkan nomor handphone
di bukunya. Kabarnya, ia sudah menerbitkan 46 buku nonfiksi.
Baiklah, tak ada salahnya aku minta bantuannya menilai tulisanku sebelum
mengirimkannya
ke penerbit. Alhamdulilah, ia
bersedia dan menyuruhku mengirimkan naskah yang sudah kutulis. Karena
aku
gaptek, belum bisa menggunakan email, maka naskah setebal itu kukirim
via pos.
Penulis itu berkomentar, “Ya ampun Mbak, kalo dalam bentuk print
out kayak gini, bisa dua tahun saya membacanya. Kirim ulang
lewat email!” Wah, aku benar-benar tidak paham email. Meskipun sudah
dibuatkan
kakakku tetapi tak mengerti cara menggunakannya.
Akhirnya,
kulupakan saja meminta bantuan penulis itu untuk
menilai karyaku. Sebab belum bisa mengirimkan lewat email. Rupanya,
penulis itu
diam-diam membacanya meskipun naskahku dalam bentuk print
out. Ia bilang naskahku layak untuk dikirim ke penerbit. Aku
senang sekali seorang penulis yang telah menghasilkan banyak buku,
menilai
karyaku layak dikirim ke penerbit. Namun, lagi-lagi terbentuk masalah
ke’gaptek’an. Aku tidak bisa mengirimnya lewat email. Ya sudah,
lagi-lagi
kulupakan saja.
Tanpa
diduga, suatu hari manager sebuah penerbitan meneleponku.
Dengan santun, ia mengenalkan nama dan nama penerbit tempatnya bekerja.
Lalu
mengatakan tertarik dengan naskahku dan berniat untuk menerbitkan. Tentu
saja
aku kaget. Aku tidak pernah mengirimnya pada penerbit. Aku kira itu
modus
penipuan, seperti penipuan-penipuan yang pernah dialamatkan ke nomor
handphoneku. Ada penipuan hadiah mobil, sepeda motor, hingga uang tunai.
Namun,
manager penerbit itu meyakinkanku bahwa ia
benar-benar telah membaca naskahku yang dibawa penulis yang pernah
kumintai
bantuan menilai sebelumnya. Katanya, tertarik menerbitkannya. Tentu saja
aku
senang sekali. Benarkah? Rasanya tak percaya. Aku tidak perlu menawarkan
naskah
ke penerbit, tidak perlu ngantri berbulan-bulan, tidak perlu lobi-lobi.
Justru
penerbit itu sendiri yang menawarkan untuk menerbitkan karyaku, tanpa
ngantri
dan tanpa biaya. Bahkan, bukuku dipasarkan ke Toko Buku Gramedia seluruh
Indonesia.
Sudah
pasti aku tidak menolak. Sebagai penulis pemula,
senangnya bukan kepalang ada penerbit yang melamar karyaku. Aku sangat
berterima kasih sekali. Bagiku, semua itu semata-mata atas kehendak-Nya.
Bukan
karena tulisanku yang bagus dan hebat, tetapi semua itu tak lepas dari
andil-Nya yang telah tercatat dalam buku desain yang Maha Indah. Inilah
salah satu
dari berkah sakitku.
Penerbit
itu mewujudkan semuanya. Ia memintaku merevisi
selama lima hari, agar tulisanku tidak bergenre remaja. Lalu memintaku
mengirim
lewat email. Kali ini, aku sanggupi. Aku tidak boleh menyia-nyiakan
kesempatan.
Atas bantuan penjaga warnet, naskahku sukses terkirim lewat email.
Penerbit itu
benar-benar memenuhi janjinya. Surat kontrak royalty kutandatangani dan
bukuku
tersebar di 46 toko buku Gramedia se-Indonesia. Termasuk toko-toko buku
besar
lainnya.
Aku
masih belum percaya dengan semua kejadian itu. Allah
seperti memudahkan jalan itu dan memberikan begitu saja apa yang
kuinginkan.
Disaat aku mulai bertekad untuk menghasilkan karya, dan ada kesungguhan
mewujudkannya ternyata Allah telah menyiapkan jawaban yang sangat indah
di
hadapanku. Luar biasa. Aku bersyukur dan berterima kasih pada tim
penerbit itu
yang telah menghargai karya sederhana seorang pemula dan menorehkan
kebahagiaan
di hati seorang manusia yang baru saja terlepas dari keterpurukan.
Ketika
angka penjualan bukuku di Gramedia sudah mencapai
angka 400 eksemplar lebih dan menerima royalty pertama kalinya, aku
semakin
yakin bahwa aku harus semangat menghasilkan karya yang bermanfaat,
sebelum
kehilangan semuanya. Jika karyaku dinilai tak memiliki manfaat bagi
pembacanya,
setidaknya aku telah berbagi menyebarkan kebaikan. Bukankah menyebar
kebaikan
sekecil apapun akan dicatat sebagai amal ibadah? Tak ada kebaikan yang
sia-sia.
Demikian pula, tak ada kata lelah dalam menyebar kebaikan. Itu artinya,
harus
terus menggelorakan semangat berdakwah bil qalam. Mari kita berkarya,
sebelum
kehilangan semuanya. Kehilangan waktu, kesempatan, kesehatan dan umur
kita.
*) Penulis adalah
Sekjen Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, berdomisili di Malang, Jawa
Timur
[sumber:
www.famindonesia.blogspot.com]