Saturday, October 29, 2011

Meluruskan MoU Helsinki dan UUPA?



Tulisan ini hadir karena perasaan letih, kasihan, dan kecewa melihat kesenjangan antara wacana dan praktik. Banyak hal yang disebut sebagai mempertahankan MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006) hanya retorika untuk mempertahankan kepentingan politik. Aku merasa kasihan melihat rakyat yang tak mengerti mengapa setelah penandatanganan MoU Helsinki justru kita kita sibuk bertikai sendiri di dalam. Kecewa dengan tidak adanya kedewasaan dalam berpolitik, dimana siapapun yang tidak sepaham dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Tak ada lagi nilai-nilai persaudaraan yang dulu terasa begitu kental di Aceh. Seakan kini ada motto baru yang begitu pekat menggantung di udara: “Musuhmu adalah orang yang berseberangan pandangan politik denganmu, walaupun itu teman sebantal tidur.” Lalu, masihkah kita berbicara tentang damai Aceh?

Independen vs Parlok

Hawa panas mulai berhembus setelah keluar Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang mencabut Pasal 256 UU 11/2006, sehingga Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh membolehkan calon perseorangan untuk dapat mendaftar sebagai calon Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.

Keputusan MK untuk mengakomodir calon perseorangan dengan menganulir Pasal 256 UUPA dianulir ternyata menuai protes keras dari elite Partai Aceh (PA) dan DPRA.

Ketua Partai Aceh, Muzakir Manaf dalam konferensi persnya pada hari Jumat, 7 Oktober 2011 di Banda Aceh mengatakan bahwa PA tidak ikut mendaftarkan kadernya baik untuk Calon Gubernur/Wakil Gubernur maupun Calon Bupati/Walikota dan Calon Wakil Bupati/Wakil Walikota di seluruh Aceh apabila Presiden mengambil keputusan pilkada tetap dilanjutkan sesuai tahapan yang telah ditetapkan KIP Aceh. Dan hal ini memang dibuktikan. Hingga batas akhir penutupan waktu pendaftaran yang ditetapkan oleh KIP yaitu tanggal 7 Oktober 2011 pukul 00.00, PA memang tidak mendaftarkan kadernya, baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Untuk menghindari kesalahpahaman perlu dijelaskan bahwa UUPA itu adalah Undang-Undang RI untuk Aceh, bukan Undang-Undang yang dibuat oleh Pemerintah Aceh. Di naskah aslinya tertulis UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH. UUPA itu bukan Undang-Undang atau konstitusi Aceh. Itu UU yang diberikan Pemerintah RI untuk Aceh dalam melaksanakan MoU Helsinki. Jadi rujukannya harus ke MoU itu

Apa kata MoU Helsinki tentang calon independen? Menurut MoU Helsinki, berapa kali sebenarnya calon independen boleh maju dalam Pilkada Aceh? Mari kita lihat point-point MoU tersebut.

MoU Helsinki Article 1.2 Political participation (partisipasi politik)

1.2.2 Upon the signature of this MoU THE PEOPLE OF ACEH will have the right to nominate candidates for the positions of all elected officials to contest the election in Aceh in April 2006 AND THEREAFTER.

1.2.2 Deungon geutanda-djaroe Nota Saban-Muphom njoe, BANSA ATJEH na hak peutamong tjalon-tjalon peudjabat njang akan geupileh uleh rakjat dalam peumilehan umum di Atjeh bak buleuen April 2006 DAN UKEUE NJAN LOM.

1.2.2 Dengan penandatangan Nota Kesepahaman ini, RAKYAT ACEH akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 DAN SELANJUTNYA.

MoU Helsinki Klausa 1.2.2 menggunakan kata RAKYAT ACEH, dan sama sekali tidak menyebut kata ‘Partai’. Rakyat Aceh adalah setiap penduduk Aceh, Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat untuk dipilih dan memilih menurut Undang-Undang yang berlaku dalam NKRI. Dalam klausa ini jelas disebutkan "Pemilu 2006 dan SELANJUTNYA,"  jadi bukan hanya untuk satu kali.

Lalu mengapa dalam Pasal 256 UUPA tertulis calon independen hanya berlaku satu kali? Pada saat perumusan RUUPA kita mendesak agar isinya disesuaikan dengan MoU Helsinki. Namun pihak Pemerintah kuatir karena calon independen belum pernah ada di Indonesia nantinya Pasal 256 UUPA itu akan digugat oleh pihak lain dan dibawa ke Mahkamah Konstitusi sehingga batal dan akibatnya tak ada sama sekali calon independen di Aceh. Maka disepakatilah bahwa calon independen hanya diperbolehkan sekali di Aceh. Bila tidak ada yang menggugat maka Pasal 256 UUPA akan direvisi kembali isinya sesuai MoU.

Merujuk Pasal 256 UUPA mengenai calon independen, MK kemudian melakukan judicial review UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK saat itu menilai bahwa calon independen merupakan jalan bagi setiap warga untuk ikut dipilih dalam pesta demokrasi (pilkada) dengan acuan UUPA. Sehingga lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007.  

Dengan adanya amandemen UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah sebanyak dua kali dan terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004, maka sesuai ketentuan Undang-Undang tersebut pelaksanaan Pemilukada dengan keikutsertaan calon independen telah diakui secara nasional.

Kini pada saat judicial review Pasal 256 UUPA, MK kembali menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 sebagai pertimbangan dalam judicial review UUPA. Dalam putusan MK menyatakan Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan meyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan putusan tersebut maka pintu demokrasi Aceh dalam pelaksanaan Pemilukada terbuka kembali untuk mengikutsertakan calon independen. Keputusan MK bersifat final dan mengikat.

Mengutip pernyataan Ketua DPP Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf yang dimuat Harian Serambi Indonesia tanggal 8 Oktober 2011 dengan judul Muzakir: Harusnya Parlok Jadi Kendaraan Independen:

“Keberadaan sejumlah partai lokal di Aceh seharusnya sudah mewakili aspirasi independen untuk maju dalam bursa Pilkada Aceh 2011. Kami memutuskan tidak ikut Pilkada 2011. Tapi kalau calon independen ditiadakan, kami (PA) akan maju. Salah satu alasan diperbolehkannya Aceh mendirikan partai lokal adalah untuk menampung aspirasi independen. Keberadaan partai lokal memang sengaja dibentuk untuk dijadikan kendaraan politik masyarakat Aceh untuk maju sebagai pemimpin. Jadi kenapa sekarang masih ada independen, kan sudah banyak partai lokal berdiri. Kenapa tidak menggunakan itu.”

Parlok ya parlok, independen ya independen. Jika parlok jadi kendaraan independen, ya bukan independen lagi namanya. Karena tentang Parlok dan Independen dituangkan dalam klausa yang terpisah dalam MoU. Dan tidak disebutkan bahwa calon independen nantinya akan bergabung dalam parlok.

Klausa MoU Helsinki tentang Parlok
1.2.1  Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

Menurut klausa 1.2.1. di atas, partai lokal terbagi dua:

Yang pertama, partai lokal yang berbasis nasional, dengan persyaratan seperti yang berlaku terhadap parnas, misalnya mempunyai perwakilan di tiap provinsi dengan jumlah anggota sekian. Kantor Pusat tetap di Provinsi Aceh, dan mempunyai wakil di DPR RI.

Yang kedua, partai lokal murni. Bertempat di Provinsi Aceh, dan mempunyai wakil di DPRA. Inilah PA yang sekarang.
Jadi jelas, antara Partai Lokal dan Calon Independen saling terpisah, dan eksistensinya diakui oleh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

PA, DPRA vs MK

Banyak sekali pasal-pasal UUPA yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Pihak GAM sejak awal sudah memprotes isi UUPA yang banyak bertentangan dengan MoU Helsinki melalui surat Malik Mahmud tertanggal 12 Juni 2007 (merujuk surat sebelumnya tertanggal 21 Agustus 2006) yang ditujukan kepada Presiden RI, tembusan kepada kepada CMI, AMM, EU, dan Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh. Pemerintah RI (SBY-Jusuf Kalla) telah berkali-kali berjanji akan mengamandemen penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam UUPA supaya lebih sesuai dengan MoU Helsinki dalam waktu 2-3 tahun, namun sampai 5 tahun berlalu hal itu tidak dilaksanakan.

Yang lucunya saat MK menganulir Pasal 256 UUPA untuk mengakomodir calon independen seperti yang telah disepakati dalam MoU Helsinki yang merupakan rujukan UUPA, malah kita sendiri yang seperti kebakaran jenggot, sibuk protes kesana kemari, bikin demo besar-besaran, menolaknya. Marah karena Pusat mempreteli dan dianggap menodai kesucian UUPA.

Padahal kalau UUPA yang sekarang disakralkan, tidak boleh diubah-ubah, maka berbagai hal lain yang merugikan Aceh (mis: soal pembagian hasil, soal ganti rugi untuk harta pribadi yang musnah dalam masa konflik, soal hubungan melalui darat dan laut ke seluruh dunia, soal peradilan HAM, KKR, soal peran militer di Aceh, dll.) akan turut kekal juga.

Kalau UUPA tidak bisa dikutak katik lagi mengapa selalu mengatakan UUPA tidak sesuai dengan MoU Helsinki dan mesti direvisi?

Ini argumen yang tidak logis, tapi juga marah kalau diprotes, seperti pernyataan Muzakir Manaf saat jumpa pers pada tgl. 7 Oktober 2011 yang menganggap dianulirnya Pasal 256 UUPA dinilai sebagai peristiwa buruk yang kemungkinan besar akan terulang kembali.

 “Ini adalah sebuah wujud nyata bahwa tak ada jaminan UUPA yang merupakan dasar perjuangan berlanjut. Bahkan PA menyadari bahwa ini adalah upaya pertama yang dilakukan dengan rapi untuk merontokkan UUPA. Jika kali ini berhasil dengan mulus, maka kelak satu persatu pasal-pasal penting di dalamnya akan dipangkas. Hingga kemudian roh UUPA akan tercerabut dan menjadikannya sekumpulan kertas tanpa makna.”

See what I mean? Dulu saat isi Pasal 256 UUPA tidak sesuai MoU protes, sekarang sudah disesuaikan malah menolak, seperti sikap Pimpinan tertinggi GAM yang berbalik arah 180 derajat. Bersama dengan elite politik PA dan DPRA, memprotes Judicial Review Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 256 UUPA dengan alasan hilang marwah UUPA bila pasal demi pasal dipreteli satu persatu. Tidak masuk akal, karena Keputusan MK berdasarkan tuntutan penggugat yang menggunakan thema ‘diskriminasi’. MK tidak bisa membatalkan apapun yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Seharusnya kita patut berterima kasih karena MK telah mengembalikan hak rakyat Aceh untuk memilih calon independen sesuai dengan isi MoU Helsinki klausa 1.2.2. Ini marwah SELURUH RAKYAT ACEH, bukan marwah sekelompok orang yang bergabung dalam partai.

Lain lagi halnya dengan DPRA yang merasa merasa kehilangan marwah karena dikangkangi oleh MK yang tidak melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan DPRA saat melakukan judicial review terhadap Pasal 256 UUPA. Protes pun dilayangkan ke pusat, sampai ke Presiden.

Seharusnya mereka baca lagi isi MoU Helsinki. 
1 Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-Undang tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh
1.1.2 Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, KECUALI dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, kemanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, KEKUASAAN KEHAKIMAN dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi;

b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh,

c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh,

d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

Menurut MoU Helsinki klausa 1.1.2 point b,c, dan d, yang perlu dikonsultasikan adalah KEPUTUSAN POLITIK (oleh Eksekutif dan Legislatif). Sedangkan KEKUASAAN KEHAKIMAN (Yudikatif ) adalah salah satu dari 6 kewenangan Pemerintah Pusat, sesuai yang tercantum dalam MoU Helsinki Klausa 1.1.2 point a.

Bila DPRA tidak mengerti mengenai isi MoU Helsinki mengapa tidak bertanya langsung pada juru rundingnya? Selain Malik Mahmud dan Zaini Abdullah masih ada M. Nur Djuli, Bakhtiar Abdulah, Nurdin Abdurrahman. Ditambah 4 anggota support team, yaitu: Teuku Hadi, Munawar Liza Zainal, Shadia Marhaban, dan Irwandi Yusuf.

Bila tidak mengerti, tanyalah pada ahlinya. Jangan seperti Fachrul Razi, Jubir PA yang asal bicara saja di Harian Serambi Indonesia edisi 19 Oktober 2011.

“Sebagaimana dalam Pasal 256 ayat 3, bahwa DPRA memiliki peran strategis yang diatur oleh UUPA, untuk terlibat dalam perubahan UUPA.”

Ngaco aja. Sejak kapan Pasal 256 UUPA ada ayat (3)? Pasal 256 menyebutkan bahwa calon independen hanya sekali di Aceh. Titik. Gak ada ayat (2) apalagi ayat (3).

Peran strategis DPRA yang diatur oleh UUPA untuk terlibat dalam perubahan UUPA itu terdapat pada BAB XL KETENTUAN PENUTUP, Pasal 269 ayat (3) yang berbunyi: “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.”

Fachrul Razi mesti membaca lagi MoU Helsinki klausa 1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui. Juga klausa 1.1.2 karena yang menyangkut kekuasaan kehakiman merupakan kewenangan Pemerintah RI. MK mempunyai kekuasaan Yudikatif. 

Jubir PA sebaiknya berhenti membuat statement-statement yang menyesatkan masyarakat sehingga masyarakat terpancing dan terus-menerus menyalahkan Pusat.

“Bahkan Presiden dapat mengumumkan Darurat Perang Negara. Presiden dapat menggantikan Menteri apalagi Gubernur. Jadi apabila permasalahan konflik pilkada tidak dapat ditunda oleh Presiden, itu hal yang mustahil.”

Coba baca lagi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Alahai gam, ka droe bangai bek peubangai gob...! Jangan penuhi kepala rakyat dengan propaganda murahan. Rakyat Aceh harus belajar dari kesilapan yang sudah-sudah. Djinoe rakyat Aceh keuneuk tupeue hoe ulee 'eh dan pat kiblat. Jangan sampai gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

Firman Allah dalam (QS Al-Hujurat [49]: 6)
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun, sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan.”

The Island, October 21, 2011 

SUMBER : Nadien


 
Design by Fadel Aziz Pase | Bloggerized by Fadel Partner - Do'a Sepasang Bidadari | Salam Kanan Salam Kemenangan