Matahari hampir berada tepat di atas kepala. Beberapa jam yang lalu, seluruh umat muslim baru saja menunaikan salat Idul Fitri yang diawali dengan takbir yang dikumandangkan hampir di setiap mesjid. Saling menjabat tangan dan mengucapkan kata maaf mengawali kegiatan di hari nan fitri.
Tak seperti hari-hari biasanya, suasana di hari pertama lebaran di Banda Aceh tampak berbeda. Tidak banyak ditemui kendaraan roda dua atau roda empat yang melintasi sepanjang ruas jalan di Ibu Kota Provinsi Aceh. Begitu juga dengan pusat-pusat pertokoan seperti Pasar Aceh dan seputaran jalan Moh.Jam serta Pasar Peunayong tampak sepi dari pengunjuang. Hanya satu-dua toko yang dijaga oleh warga keturunan cina yang berjualan.
Jalanan yang sepi tersebut ternyata dimanfaatkan oleh beberapa orang anak muda. Mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, diatas laju rata-rata berkendaraan di dalam kota yaitu 40 km/jam.
Gerombolan pemuda tersebut bergerak dari arah Simpang Lima menuju ke taman kota di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Taman kota yang semula sepi mendadak ramai. Tanah lapang yang hanya dihuni oleh pohon-pohon, sekarang juga didiami oleh bangku serta meja yang tersusun rapi. Setiap meja dihiasi dengan botol saos, kecap, cuka serta gelas air mineral diatasnya. Seperti disulap dengan mantra oleh beberapa pedagang yang menggelar dagangannya di sana.
“Bang jus pokat satu,” ujar salah seorang pemuda pada seorang pedagang di sana. Mereka lantas duduk di salah satu kursi yang dinaungi oleh dahan pohon yang rimbun. Dari kejauhan, tampak satu keluarga tengah memarkirkan kendaraannya di depan taman yang telah beralih fungsi tersebut. Mereka memilih untuk duduk di tempat yang langsung menghadap menara mesjid bersejarah di Kota Banda Aceh.
Ternyata tidak hanya ada satu pedagang yang ada di tempat tersebut. Tak berselang satu meter jaraknya, ada sekitar lima gerobak lebih tampak berjejer rapi di pinggiran taman. Makanan yang mereka tawarkanpun beragam, mulai bakso, mie, aneka jus, dan aneka minuman lainnya bisa dinikmati disana.
Dari mereka The Globe Journal memperoleh informasi, bahwa mereka hanya berjualan pada saat lebaran saja. Salah satunya Inur. Perempuan bergamis ungu ini mengaku bahwa sehari-harinya dia tidak menggelar dagangannya. “Biasanya tidak jualan. Ya kita jualan saat lebaran aja mbak,” akunya pada The Globe Journal, Rabu (31/8).
Satu mangkuk bakso yang dijual Inur dihargai senilai Rp 10.000,- dan ternyata masih diminati oleh pembeli yang mencari jajanan di hari pertama lebaran ini. “Kalau pakai ayam ya Rp 10.000,- tapi kalau nggak pake ayam Rp 8.000 aja mbak. Tergantung juga permintaan anak-anak. Kadang mereka mintanya nggak pake ini-itu, kita kurangi lagi harganya,” jelasnya sambil mempersiapkan dagangannya.
Para pembeli mulai tampak ramai menjelang pukul 12.30 Wib. “Hari ini agak sepi karena baru hari raya pertama, biasanya hari raya kedua dan ketiga baru ramai sama anak-anak,”ujarnya. Mereka datang ke taman ini bersama teman atau bersama keluarga untuk sekedar mengganjal perut sembari bersantai.
Salah satunya adalah Risma yang tampak berceloteh ria dengan adik dan keluarganya. Taman yang di sulap menjadi tempat jajanan ternyata sangat diminati oleh warga Kota Banda Aceh.
Lain halnya jika kita berbelok menuju arah Blang Padang. Amatan The Globe Journal rumah di sepanjang ruas jalan yang dihuni oleh orang-orang penting di Provinsi Aceh ini tampak ramai. Halaman rumah yang biasanya dihuni oleh mobil-mobil mewah kini diganti dengan tenda-tenda dan teratak yang terpasang rapi.
Deretan rumah Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dan Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin kini bisa dimasuki oleh masyarakat biasa untuk bersilaturahmi dengan penguasanya.
Hari Raya Idul Fitri dirasakan berbeda oleh setiap orang. Di hari penuh kemenangan ini mereka bisa bersilaturahmi dengan siapa saja tanpa perlu memperlihatkan strata sosial yang disandangnya. Di hari itu pula, mereka bisa mencari rezeki dengan sedikit mengubah fungsi taman kota dan menyulapnya menjadi ramai. Dan dihari yang sama pula terlihat kota yang biasa dibisingkan oleh kendaraan bermotor dan aktivitas yang padat menjadi sepi.
Tak seperti hari-hari biasanya, suasana di hari pertama lebaran di Banda Aceh tampak berbeda. Tidak banyak ditemui kendaraan roda dua atau roda empat yang melintasi sepanjang ruas jalan di Ibu Kota Provinsi Aceh. Begitu juga dengan pusat-pusat pertokoan seperti Pasar Aceh dan seputaran jalan Moh.Jam serta Pasar Peunayong tampak sepi dari pengunjuang. Hanya satu-dua toko yang dijaga oleh warga keturunan cina yang berjualan.
Jalanan yang sepi tersebut ternyata dimanfaatkan oleh beberapa orang anak muda. Mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, diatas laju rata-rata berkendaraan di dalam kota yaitu 40 km/jam.
Gerombolan pemuda tersebut bergerak dari arah Simpang Lima menuju ke taman kota di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Taman kota yang semula sepi mendadak ramai. Tanah lapang yang hanya dihuni oleh pohon-pohon, sekarang juga didiami oleh bangku serta meja yang tersusun rapi. Setiap meja dihiasi dengan botol saos, kecap, cuka serta gelas air mineral diatasnya. Seperti disulap dengan mantra oleh beberapa pedagang yang menggelar dagangannya di sana.
“Bang jus pokat satu,” ujar salah seorang pemuda pada seorang pedagang di sana. Mereka lantas duduk di salah satu kursi yang dinaungi oleh dahan pohon yang rimbun. Dari kejauhan, tampak satu keluarga tengah memarkirkan kendaraannya di depan taman yang telah beralih fungsi tersebut. Mereka memilih untuk duduk di tempat yang langsung menghadap menara mesjid bersejarah di Kota Banda Aceh.
Ternyata tidak hanya ada satu pedagang yang ada di tempat tersebut. Tak berselang satu meter jaraknya, ada sekitar lima gerobak lebih tampak berjejer rapi di pinggiran taman. Makanan yang mereka tawarkanpun beragam, mulai bakso, mie, aneka jus, dan aneka minuman lainnya bisa dinikmati disana.
Dari mereka The Globe Journal memperoleh informasi, bahwa mereka hanya berjualan pada saat lebaran saja. Salah satunya Inur. Perempuan bergamis ungu ini mengaku bahwa sehari-harinya dia tidak menggelar dagangannya. “Biasanya tidak jualan. Ya kita jualan saat lebaran aja mbak,” akunya pada The Globe Journal, Rabu (31/8).
Satu mangkuk bakso yang dijual Inur dihargai senilai Rp 10.000,- dan ternyata masih diminati oleh pembeli yang mencari jajanan di hari pertama lebaran ini. “Kalau pakai ayam ya Rp 10.000,- tapi kalau nggak pake ayam Rp 8.000 aja mbak. Tergantung juga permintaan anak-anak. Kadang mereka mintanya nggak pake ini-itu, kita kurangi lagi harganya,” jelasnya sambil mempersiapkan dagangannya.
Para pembeli mulai tampak ramai menjelang pukul 12.30 Wib. “Hari ini agak sepi karena baru hari raya pertama, biasanya hari raya kedua dan ketiga baru ramai sama anak-anak,”ujarnya. Mereka datang ke taman ini bersama teman atau bersama keluarga untuk sekedar mengganjal perut sembari bersantai.
Salah satunya adalah Risma yang tampak berceloteh ria dengan adik dan keluarganya. Taman yang di sulap menjadi tempat jajanan ternyata sangat diminati oleh warga Kota Banda Aceh.
Lain halnya jika kita berbelok menuju arah Blang Padang. Amatan The Globe Journal rumah di sepanjang ruas jalan yang dihuni oleh orang-orang penting di Provinsi Aceh ini tampak ramai. Halaman rumah yang biasanya dihuni oleh mobil-mobil mewah kini diganti dengan tenda-tenda dan teratak yang terpasang rapi.
Deretan rumah Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dan Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin kini bisa dimasuki oleh masyarakat biasa untuk bersilaturahmi dengan penguasanya.
Hari Raya Idul Fitri dirasakan berbeda oleh setiap orang. Di hari penuh kemenangan ini mereka bisa bersilaturahmi dengan siapa saja tanpa perlu memperlihatkan strata sosial yang disandangnya. Di hari itu pula, mereka bisa mencari rezeki dengan sedikit mengubah fungsi taman kota dan menyulapnya menjadi ramai. Dan dihari yang sama pula terlihat kota yang biasa dibisingkan oleh kendaraan bermotor dan aktivitas yang padat menjadi sepi.
The Globe Journal