Oleh : Abdul Adzim
Korupsi memang menjadi bagian dari budaya pejabat bangsa Indonesia. Walaupun presiden serius membasmi, tetap saja ada, karena ini warisan leluhur yang berkolaborasi dengan syetan. Gayus, Nazarudin, Nunun, merupakan pejabat Negara yang korupsinya benar-benar menggila. Milyaran rupiah diembat oleh kedua pejabat ini, tanpa merasa dosa sedikit-pun. Malahan, keduanya sempat ngumpet, dan bernyanyi merdu, dan menyewa pengacara kelas tinggi untuk membela diri. Begitu banyak uang mereka…!Sementara rakyat miskin berebut, zakat hingga ada yang sekarat karena terjepit saat antrean.
Bulan suci, merupakan momen paling penting bagi Nazarudin untuk memohon ampunan atas segala dosa-dosanya selama ini. Akan tetapi, dosa yang terkait dengan uang rakyat, tidak begitu saja terhapus, kecuali meminta maaf kepada rakyat Indonesia, atas pe-ngemplangan dana rayat tersebut. Sebab, rakyat selalu rutin membayar pajak tepat waktu, sebagaimana yang di inginkan pemerintah.
Kasus demi kasus korupsi terus menghiasi media dan telivisi. Para pejabat seolah-olah sulit sekali menghindari budaya ini, karena syetan sudah menjadi mitra kerja setia di dalam melakukan aksinya. Perpajakan, kesehatan, agama, pendidikan, sudah terkontaminasi dengan namanya korupsi. Walaupun syetan dibelenggu erat-erat pada bulan puasa ini, dengan tujuan tidak menganggu manusia. Realitasnya, masih banyak mereka yang korupsi, karena sifat syetan sudah menyatu pada diri mereka, dan menjelma menjadi manusia.
Nazarudin memang sudah ketangkap, tetapi masih banyak pejababat gaya Nazarudin yang belum ketangkap, bahkan mungkin masih berkeliaran dalam dunia per-syetanan ini. Ketika musim lebaran, semua juga ikut serta merayakan, bahkan membagi-bagi angpao (galak gampil) kepada masyarakat sekitar, atau anak-anak. Angpao memang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia ketika merayakan lebaran Idul Fitri. Tetapi, apa jadinya, jika angpao itu berasal dari hasil korupsi…..? atau perkejaan yang tidak jelas (remang-remang) alias subhat.
KH Masduki penggasuh Ponpes Nurul Huda- Malang, dalam sebuah acara 7 hari meninggalnya KH Imam Hambali (Malang) menyampaikan sambutan, bahwa makan (berbuka) dengan barang subhat saja, hakekat puasanya batal. Beliau menganggab bahwa puasanya disebut dengan ‘’kerja bakti’’ artinya tidak mendapatkan pahala. Apa jadinya, jika mendapatkan angpao dari pejabat yang gemar korupsi? Padahal, pejabat yang korupsi itu paling suka bagi-bagi, agar supaya aksinya bisa berjalan dengan lancar.
Hasil korupsi, jelas-jelas haram. Jika para agamawan, atau ustad mendapatkan udangan berbuka puasa, kemudian mendapatkan hidangan dari pejabat yang tidak jelas, maka puasanya batal, tetapi sah. Artinya, kelak di ahirat tidak mendapatkan siksaan, tetapi tidak mendapatkan pahala. Tetapi, jika mendapatkan undangan dari koruptor, maka puasanya ikut batal juga, apalagi yang di undag itu ngeti kalau yang ngundang itu benar-benar koruptor yang memakan keringat rakyat.
Apabila, para koruptor itu memberi hadia mukena, sarung, dan kopyah sementara yang diberi itu tahu asal usulnya. Ibarat bersuci dengan musta’mal (terpakai), walaupun bersih tetapi tidak sah. Begitu juga angpau, parsel dan sejenisnya yang datang mereka, terlihat halal, tetapi justru akan menjadikan hati semakin keras. Betul apa yang disampaikan Nabi Saw, seorang lelaki dengan pakain lusuh, compang-camping, rambutnya awut-awutan, lantas dia mengangkat berdoa dengan mengangkat tangganya:’’ Wahai tuhan….wahai tuhan….! pakaiannya haram, makanannya haram, mengkonsumis barang-barang haram, apa mungkin tuhan menjawab do’a mereka’’.
Menyambut Idul Fitri, rasanya tidak pantas mendapatkan barang-barang dari mereka. Barangkali, hidangan, seperti; makan, minum, serta kue-kue yang dihidangkan di atas meja tamunya itu barang yang tidak jelas (subhat) tercampur dengan uang korupsi. Dengan demikian, sebagai bentuk solidaritas, hukuman sosial yang paling tepat bagi mereka, tidak memakan apa yang mereka hidangkan, akan tetapi tetap menjalin silaturhami dengan saling memaafkan atas kesalahan-kesalahan selama ini. Tetapi, wajib bagi koruptor, mulai tingkat pusat (elit; pejabat legislative dan ekseutif) sampai tingkat (alit; kecamatan, desa, hingga kelurahan) meminta maaf kepada rakyat Indonesia.
(Penulis : Santri s3 Bahasa Arab Universitas Maulana Malik Ibrahim - Malang.)
kompasiana.com