Budi Fatria tak pernah menyangka hasil jepretannya akan membawanya berbuka puasa bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu di Jakarta. Berawal dari hobi, pria lajang asal Suak Timah, Aceh Barat ini menjadikan fotografi sebagai pilihan hidupnya.
Tanggal 18 Agustus 2011, boleh jadi menjadi hari tak terlupakan dalam hidup Budi. Itulah untuk pertama kalinya pria berusia 28 tahun ini mendapat kesempatan berbuka puasa dengan Presiden Indonesia. Memang, Presiden SBY datang selepas Magrib, namun bagi Budi itu tak mengurangi maknanya.
Budi Fatria mendapat kesempatan langka itu setelah karya fotonya "Pacuan Kuda Tradisional Gayo" meraih Juara Harapan I Lomba Foto Kebudayaan Indonesia 2011 yang diumumkan di Jakarta, 18 Agustus lalu. Lomba foto dengan tema Keindahan Indonesia (Wonderful Indonesia) itu memperebutkan Piala Presiden Indonesia.
"Saya tidak membayangkan dapat penghargaan seperti ini, seperti mimpi saya bersaing dengan fotografer nasional. Pengalaman memotret juga belum lama. secara ilmu fotografi juga belum ada apa-apanya," ujarnya.
Foto pacuan kuda di kota dingin Takengon itu dijepret tahun lalu. Selama dua hari, Budi memotret acara pacuan kuda dari berbagai sisi. Hari terakhir, ia mendapatkan momen menarik ketika empat kuda berpacu dalam posisi sejajar, bersaing memperebutkan posisi terdepan. Ada 250 frame foto yang berhasil direkam. "Tapi hanya 2 frame yang bagus, salah satunya yang memenangkan penghargaan ini," kata Budi.
Belakangan, dari Arbain Rambey, salah satu juri lomba, Budi diberitahu fotonya berhasil menangkap ekspresi joki dan kuda pada saat bersamaan. Selain itu, komposisi dan pencahayaan juga menarik dari sisi fotografi.
Bagi Budi, penghargaan itu ada prestasi terbesarnya selama menggeluti fotografi profesional sejak 2008. Sebelumnya, pada 2010, ia meraih juara II Lomba Foto Budaya se-Aceh. Dua hari lalu, ia kembali menggondol juara III Lomba Foto Lingkungan WALHI Aceh.
Fotografer Harian Serambi Indonesia ini memulai karirnya sebagai wartawan magang di koran terbesar di Aceh ini. Lulus tahapan ujicoba tiga bulan, ia pun diterima sebagai fotografer tetap di koran harian ini. Ketika diterima di Serambi Indonesia, Budi masih duduk di semester tujuh Fakultas Hukum Unsyiah. Terlalu asyik bekerja, ia pun dihadapkan pada pilihan tetap bekerja atau melanjutkan kuliah. "Karena saya juga butuh pekerjaan, akhirnya saya memilih tetap bekerja sambil meneruskan kuliah di Universitas Muhammadiyah," ujarnya.
Sebenarnya, Budi mulai bersentuhan dengan kamera sejak 2006. Ketika itu, ia bekerja sebagai staf dokumentasi di sebuah LSM yang beroperasi di Lamno. Bermodal sebuah kamera poket, ia pun jepret sana-sini merekam aktivitas masyarakat korban tsunami. Saat itu, ia sama sekali buta dengan teknik fotografi. Prinsipnya, yang penting ada dokumentasi untuk laporan kegiatan kantor.
Rupanya, Budi mulai kepincut dengan pekerjaan itu. Setahun kemudian dia membeli kamera analog yang masih memakai film. Kurang puas, akhirnya dia menggantinya dengan kamera digital Canon 400D.
Di Banda Aceh, Budi yang sering nongkrong di warung kopi Solong Ulee Kareng, sering terkagum-kagum melihat para fotografer yang datang ke sana dengan kamera besar di bahu. Diam-diam, dia memendam keinginan menjadi fotografer.
Sejak itu, ia mulai serius belajar fotografi. Ia pun sempat memotret acara-acara kawinan atau pre wedding. Sesekali, ia hunting foto-foto human interest tentang kehidupan sehari-hari orang-orang kecil seperti nelayan, petani, da pedagang di pasar.
Hasil jepretannya kemudian diposting di fotografer.net, sebuah situs komunitas fotografer Indonesia. Banyak fotografer handal Indonesia berkumpul di sini seperti Arbain Rambey, bahkan Darwis Triadi sekalipun.
Rupanya, hasil jepretan Budi banyak disukai fotografer lain. Dari sanalah, pria lajang kelahiran 24 juli 1983 ini kian yakin untuk menekuni fotografi.
Kecintaannya terhadap dunia potret-memotret ini kian menebal ketika ia ikut traing fotografer yang diasuh oleh sejumlah fotografer senior di Aceh. "Setelah itu saya makin merasa mantap ingin menggeluti dunia fotografi," ujarnya.
Rupanya, hasil jepretan Budi banyak disukai fotografer lain. Dari sanalah, pria lajang kelahiran 24 juli 1983 ini kian yakin untuk menekuni fotografi.
Kecintaannya terhadap dunia potret-memotret ini kian menebal ketika ia ikut traing fotografer yang diasuh oleh sejumlah fotografer senior di Aceh. "Setelah itu saya makin merasa mantap ingin menggeluti dunia fotografi," ujarnya.
Budi juga sering meminta saran dan masukan dari sejumlah fotografer yang lebih duluan berkecimpung di dunia fotografi seperti Tarmizy Harza (fotografer Kantor Berita Reuters yang pernah dapat penghargaan World Press Photo), M. Anshar (redaktur foto Serambi Indonesia), Yo Fauzan (fotografer freelance), Chaedeer Mahyudin (peraih penghargaan Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2010), dan beberapa fotografer senior lain di Aceh.
"Saya sering diskusi teknik memotret dengan mereka. Banyak masukan dan kritik yang saya dapatkan. Dan itu memacu saya untuk terus menghasilkan foto yang lebih baik," ujarnya.
Meskipun memenangkan lomba foto tingkat nasional, Budi tak lantas besar kepala. Ia merasa belum puas dengan hasil jepretannya. "Masih banyak hal yang harus saya benahi. Menang belum tentu sempurna, yang tak menang pun belum berarti tidak bagus," kata anak tunggal ini.
Bagi Budi, memotret acara kawinan, jauh berbeda dengan foto jurnalistik. "Kalau foto wedding kita cuma mendokumentasikan saja, bahkan bisa mengatur posisi orang yang di foto. Tapi kalau foto jurnalistik, harus bercerita apa yang ingin kita tonjolkan dari foto itu, dan berkejaran dengan momen karena dalam hitungan detik momen bagus bisa berlalu," ujarnya.
Itu sebabnya, kata Budi, seorang fotografer jurnalistik dituntut untuk tekun, sabar menunggu momen dan tidak malu bertanya dari orang-orang yang lebih berpengalaman.
Kini, Budi Fatria menyimpan satu cita-cita. Itu pun tak muluk-muluk. "Saya ingin suatu saat nanti dunia fotografi kita lebih maju. Dan saya ingin menjadi pengajar fotografi di Aceh. Ya, hanya di Aceh," tegasnya.[]
the atjeh post